Rabu, 21 Desember 2011


Sekolah Aneh, Guru Lebih Banyak dari MuridSekolah Aneh, Guru Lebih Banyak dari Murid

Sumbawa Besar, PSnews -
Aneh tapi nyata. Jika sekolah lain kekurangan guru, maka berbeda halnya dengan SMPN 5 SATAP Uma Buntar.
Sekolah ini justru memiliki guru lebih banyak dibanding siswanya.
Konidisi ironi ini diadukan warga Uma Buntar,  Zulkarnaen pada Komisi IV DPRD Kabupaten Sumbawa .
“SMPN 5 SATAP memiliki guru sebanyak 25 orang, sementara siswanya hanya 19 orang,” ungkap Zulkarnaen.
Bahkan untuk membayar insentif Guru Tidak Tetap (GTT) 100 ribu setiap bulan,  Kepala Sekolah setempat menggunakan dana BOS.
Zulkarnaen menambahkan, sekolah itu tidak memiliki rencana kerja termasuk perbaikan komponen dan juga rencana kerja tahunan yang menjadi dasar pengelolaan sekolah.
Dalam membuat rencana kegiatan dan anggaran sekolah RAKS, sebenarnya dana BOS integral dalam RAKS sesuai permen Diknas 37 tahun 2010.
Di samping itu, ada beberapa mata pelajaran seperti bahasa inggris diajarkan oleh dua orang guru. Sehingga guru mata pelajaran kesulitan mengukur standar penyampaian antara masing-masing guru.
Parahnya lagi, papar Zulkarnaen, oknum kepala sekolah setempat juga jarang hadir di sekolah lantaran sibuk mengurus busnya.
Kebijakan unik lainnya yang dilakukan kepala sekolah, ungkap Zulkarnaen,  yakni saat pembagian raport.
Penyerahan nilai siswa oleh guru, bersamaan dengan pembagian raport.
Menanggapi laporan warga, Kabid Dikdas Diknas Sumbawa, A Rahman, SPd menyatakan, pihaknya bersama tim akan turun ke lokasi guna meminta keterangan dari pihak terkait.
Rahman menjelaskan, jumlah guru yang wajib dimiliki SMP SATAP maksimal 6 orang dan seandainya kurang dapat diambil dari guru SD SATAP.
Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Sumbawa, Sambirang Ahmadi mengungkapkan, kejadian seperti ini banyak terjadi di Sumbawa khususnya di daerah terisolir.
Untuk itu masyarakat diminta untuk berperan aktif mengontrol setiap masalah yang ada, seperti penggunaan dana BOS, tenaga pendidik dan lainnya.
Aneh tapi nyata. Jika sekolah lain kekurangan guru, maka berbeda halnya dengan SMPN 5 SATAP Uma Buntar.
Sekolah ini justru memiliki guru lebih banyak dibanding siswanya.
Konidisi ironi ini diadukan warga Uma Buntar,  Zulkarnaen pada Komisi IV DPRD Kabupaten Sumbawa .
“SMPN 5 SATAP memiliki guru sebanyak 25 orang, sementara siswanya hanya 19 orang,” ungkap Zulkarnaen.
Bahkan untuk membayar insentif Guru Tidak Tetap (GTT) 100 ribu setiap bulan,  Kepala Sekolah setempat menggunakan dana BOS.
Zulkarnaen menambahkan, sekolah itu tidak memiliki rencana kerja termasuk perbaikan komponen dan juga rencana kerja tahunan yang menjadi dasar pengelolaan sekolah.
Dalam membuat rencana kegiatan dan anggaran sekolah RAKS, sebenarnya dana BOS integral dalam RAKS sesuai permen Diknas 37 tahun 2010.
Di samping itu, ada beberapa mata pelajaran seperti bahasa inggris diajarkan oleh dua orang guru. Sehingga guru mata pelajaran kesulitan mengukur standar penyampaian antara masing-masing guru.
Parahnya lagi, papar Zulkarnaen, oknum kepala sekolah setempat juga jarang hadir di sekolah lantaran sibuk mengurus busnya.
Kebijakan unik lainnya yang dilakukan kepala sekolah, ungkap Zulkarnaen,  yakni saat pembagian raport.
Penyerahan nilai siswa oleh guru, bersamaan dengan pembagian raport.
Menanggapi laporan warga, Kabid Dikdas Diknas Sumbawa, A Rahman, SPd menyatakan, pihaknya bersama tim akan turun ke lokasi guna meminta keterangan dari pihak terkait.
Rahman menjelaskan, jumlah guru yang wajib dimiliki SMP SATAP maksimal 6 orang dan seandainya kurang dapat diambil dari guru SD SATAP.
Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Sumbawa, Sambirang Ahmadi mengungkapkan, kejadian seperti ini banyak terjadi di Sumbawa khususnya di daerah terisolir.
Untuk itu masyarakat diminta untuk berperan aktif mengontrol setiap masalah yang ada, seperti penggunaan dana BOS, tenaga pendidik dan lainnya.

Jumat, 07 Oktober 2011

Si Dayang Bandir


Dahulu di propinsi Sumatera Utara terdapat dua kerajaan. Kerajaan itu dikenal dengan nama Kerajaan Timur dan Kerajaan Barat. Pada suatu ketika, raja yang berkuasa di Kerajaan Timur menikah dengan adik perempuan dari raja yang berkuasa di Kerajaan Barat. Beberapa tahun kemudian lahir seorang bayi perempuan yang diberi nama ‘Si Dayang Bandir’, tujuh tahun kemudian lahir seorang anak laki-laki yang bernama Sandean Raja. Ketika masih kecil, ayah Si Dayang Bandir dan Sandean Raja meninggal dunia.

Dengan meninggalnya raja di Kerajaan Timur, maka tahta Kerajaan Timur menjadi kosong. Berhubung Sandean Raja masih kecil dan belum bisa menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja, maka dalam sidang istana kerajaan menunjuk Paman Kareang untuk mengendalikan pemerintahan kerajaan. Si Dayang Bandir mempunyai akal untuk menyelamatkan benda-benda pusaka agar jangan sampai jatuh ke tangan pamannya yang hanya menggantikan pemerintahan sementara. “Hmm.. benda-benda pusaka ini haurs kuselamatkan agar jangan sampai jatuh di tangan pamanku, kelak adik Sandean Raja lah yang berhak atas benda-benda pusaka ini,” gumam Si Dayang Bandir.

Tidak berapa lama, Paman Kareang mengetahui benda-benda pusaka peninggalan raja telah disimpan Si Dayang Bandir. Ia mendesak Si Dayang Bandir agar menyerahkan benda-benda itu. “Awas! Kalau benda-benda itu tidak diserahkan padaku, keselamatanmu akan terancam!” Itulah ancaman Paman Kareang kepada Si Dayang Bandir. Namun Si Dayang Bandir tetap tidak mau menyerahkan benda-benda pusaka itu.

Kekesalan Paman Kareang menyebabkan Si Dayang Bandir dan Sandean Raja dibuang ke hutan. Sesampainya di hutan, Paman Kareang mengikat Si Dayang Bandir di atas sebatang pohon sehingga tidak dapat dijangkau adiknya, Sandean Raja. Sandean Raja menangis tak henti-henti sampai kehabisan air mata. Sandean Raja mencoba membebaskan kakaknya. Tapi ia tidak berhasil memanjat pohon tersebut, setiap mencoba ia pun jatuh. Tubuhnya menjadi tergores dan luka-luka. “Biarlah kekejaman paman ini kutanggung sendiri,” kata Si Dayang Bandir lemah. “Bila kau lapar, makanlah pucuk-pucuk daun yang berada di sekitarmu,” ucap Si Dayang Bandir, kepada adiknya yang kelaparan.

Setelah beberapa hari terikat di batang pohon, akhirnya Si Dayang Bandir tampak mulai lemas dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir. “Begitu kejam pamanku!” umpat Sandean Raja. Ia pun hidup seorang diri di hutan selama beberapa tahun hingga ia menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Selama di hutan, ia selalu ditemani roh Si Dayang Bandir. “Ku harap kau segera menghadap Raja Sorma,” bisik halus Roh Si Dayang Bandir, kepada Sandean Raja. Raja Sorma adalah adik kandung dari Ibu Sandean Raja. Raja Sorma tidak kejam seperti Paman Kareang yang saat ini sudah menjadi raja di Kerajaan Timur.

Sandean Raja berhasil keluar dari hutan dan segera menuju ke wilayah Kerajaan Barat untuk menghadap Raja Sorma. “Ampun Sri Baginda Raja Sorma. Hamba adalah Sandean Raja. Putra Mahkota Kerajaan Timur,” kata Sandean Raja. Raja Sorma sangat terkejut dengan ucapan Sandean Raja karena ia mendengar bahwa Sandean Raja dan Si Dayang Bandir telah meninggal dunia. Untuk membuktikan bahwa Sandean Raja benar-benar keponakannya, Sandean Raja diuji memindahkan sebatang pohon hidup dari hutan ke Istana. Ujian selanjutnya, Sandean Raja diharuskan menebas sebidang hutan untuk dijadikan perladangan. Pekerjaan itu diselesaikan Sandean Raja dengan baik. Selanjutnya, Sandean Raja diperintahkan untuk membangun istana besar yang disebut “Rumah Bolon” dan ternyata berhasil dan selesai dalam waktu tiga hari.

Raja Sorma belum mau mengakui Sandean Raja sebagai keponakannya sebelum menempuh ujian terakhir. Yaitu, menunjuk seorang puteri raja di antara puluhan gadis di sebuah ruang yang gelap gulita. Sandean Raja merasa khawatir kalau ujian yang terakhir ini ia tidak berhasil. “Jangan khawatir, aku akan membantumu,” bisik roh Si Dayang Bandir. Akhirnya Sandean Raja berhasil memegang kepala puteri raja yang sedang bersimpuh. Atas keberhasilannya, Sandean Raja diakui sebagai keponakan Raja Sorma dan dinikahkan dengan puterinya. Setahun kemudian, Sandean Raja bersama prajurit Kerajaan Barat menyerang Kerajaan Timur yang dikuasai oleh paman Raja Kareang. Dalam waktu yang tidak lama, Kerajaan Timur berhasil ditaklukkan dan Raja Kareang terbunuh oleh Sandean Raja. Kerajaan Timur akhirnya di kuasai oleh Sandean Raja. Dan akhirnya Sandean Raja dinobatkan menjadi raja Kerajaan Timur dan hidup bahagia bersama istri dan rakyatnya.

Moral :
Untuk membuktikan kebenaran diperlukan ujian yang keras. Hanya orang-orang yang bersemangat, sabar dan besar hatilah yang dapat melewati ujian seberat apapun.

Sumber : Elexmedia



Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales, Sumatera Utara
Pulau Mas

Ringkasan Cerita
Alkisah ketika Raden Wiralodra akan membuka hutan Indramayu untuk dijadikan pemukiman atau pedukuhan. Namun, usaha itu banyak mengalami halangan dan rintangan yang mengganggu rencananya. Salah satu kendala yang sangat berat adalah ia harus berhadapan dengan jin penguasa hutan Indramayu.

Jin itu akan membinasakan setiap orang yang mencoba mengusik kekuasaannya. Begitu pula saat ada Raden Wiralodra yang sedang membabat hutan Indramayu untuk dijadikan tempat tinggal, maka dengan serta merta si jin marah dan menghalau rencana Raden Wiralodra.

Akibatnya, pertempuran pun tidak dapat dielakkan. Raden Wiralodra yang gagah perkasa berhadapan dengan makhluk jin yang terkenal sangat sakti. Keduanya mengeluarkan semua ilmu kedigjayaan.

Tidak diketahui berapa lamanya pertempuran itu terjadi, namun kuasa Tuhan menentukan bahwa manusialah yang harus menang. Raden Wiralodra berhasil mengalahkan jin. Setelah jin itu takluk, ia mohon kepada Raden Wiralodra agar diberi kebebasan untuk hidup di sebuah pulau. Di sana ia tidak akan mengganggu manusia lagi, terutama keturunan Raden Wiralodra.

Pendek kata, Raden Wiralodra mengizinkan keinginan makhluk jin tadi. Maka pergilah jin itu menuju ke sebuah pulau. Ia menetap di pulau itu sampai kini. Masyarakat sekitar pulau tersebut, jika malam hari sering melihat pulau tersebut bercahaya kekuningan seperti sinar emas, maka disebutlah Pulau Mas.

Sumber:
Purnama, Yuzar, dkk,. 2004. Budaya Tradisional pada Masyarakat Indramayu. Bandung: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

http://uun-halimah.blogspot.com/search/label/cerita%20rakyat?updated-max=2008-06-14T12%3A45%3A00-07%3A00&max-results=20




Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales, Jawa Barat
Buaya, Kerbau dan Pelanduk

Pada suatu ketika ada seekor buaya yang ingin berkubang di sebuah sungai. Namun, karena sinar matahari demikian teriknya dan jarak antara sarangnya dengan sungai tersebut agak jauh, maka buaya itu hanya menunggu saja kalau-kalau ada binatang lain yang bersedia menolongnya. Kebetulan waktu itu ada seekor kerbau yang hendak minum di sungai. Buaya itu pun merasa gembira, dan segera berseru pada kerbau, “Hei kerbau, maukah engkau menolongku?”

“Apa yang bisa kulakukan untukmu, hai buaya?” tanya kerbau.

“Maukah engkau membawaku hingga ke tepi sungai itu?” kata buaya.

“Ya, baiklah. Sekarang naiklah ke punggungku!” jawab kerbau.

Setelah berkata begitu, tanpa membuang waktu lagi, naiklah buaya itu ke punggung kerbau. Si kerbau pun lalu berjalan menuju sungai.

Saat berada di tepi sungai, si kerbau berkata, “Turunlah hei buaya, kita sudah sampai di tepi sungai!”

Menyahut si buaya: “Sebentar lagi. Turunkan saya dalam air.”

Kerbau pun menuruti perintah buaya. Pada waktu air sampai lutut ia berkata: “Turunlah dari punggungku hei buaya!”

Si buaya menjawab lagi, “Sebentar lagi. Agak maju sedikit lagi.”

Kerbau pun menuruti lagi perintah buaya. Pada waktu sampai di tempat yang paling dalam, buaya segera melompat dan berkata, “Sekarang aku akan memakanmu hei kerbau, sebab sudah sekian lama aku tidak makan.”

Menyahutlah si kerbau, “Nanti dulu! Adakah kebaikan dibalas dengan kejahatan?”

“Tidak usah berpanjang lebar ceritamu! Aku sudah sangat lapar dan akan memakan engkau sekarang,” kata si buaya.

Kerbau menjawab, “Tunggu dulu! Ada bakul bekas hanyut kemari. Biar kutanyai dahulu dia.” Ditanyailah bakul itu oleh kerbau: “Eh bakul, adakah kebaikan dibalas dengan kejahatan?”

Dijawab oleh bakul, “Lihatlah diriku! Waktu masih dipergunakan orang, aku selalu dipelihara. Sekarang, setelah usang dan tidak berguna lagi, aku pun dibuang begitu saja.”

Berkatalah si buaya, “Dengarkanlah kata si bakul itu wahai kerbau!”

Si kerbau berkata, “Tunggulah dahulu! Masih ada nyiru bekas hanyut kemari.” Ditanyai lagi nyiru itu oleh si Kerbau: “Eh, nyiru, adakah kebaikan dibalas dengan kejahatan?”

Dijawab oleh nyiru itu, “Tidak usah dicari, begitulah keadaan di dunia. Kebaikan biasa dibalas dengan kejahatan. Lihatlah saya, waktu masih dipakai, orang selalu memeliharaku. Setelah aku usang, aku pun dibuangnya.”

Buaya berkata lagi, “Engkau sudah mendengar jawaban si bakul dan si nyiru itu, bukan? Nah, jadi sekarang aku mau memakan engkau!”

Kerbau menjawab, “Tunggu dulu. Aku melihat ada binatang di pinggir sungai, akan kutanyai dia.”

Binatang yang ada di pinggir sungai itu kebetulan adalah si pelanduk. “Hai pelanduk adakah kebaikan dibalas dengan kejahatan?” tanya kerbau.

Jawab pelanduk, “Apa yang kau katakan? Mendekatlah kemari, aku tidak mendengarnya!”

Kerbau pun maju sampai ke tempat yang agak dangkal airnya dan berkata lagi: “Adakah kebaikan dibalas dengan kejahatan?”

“Tidak jelas, aku agak tuli, naik ke darat!” jawab pelanduk.

Waktu kerbau naik ke darat, lalu sang Pelanduk berkata, “Larilah, tidak ada lagi kekuatan si buaya kalau di darat. Ia berkuasa hanya kalau berada di dalam air.”

Melihat kerbau berhasil melarikan diri, kemarahan buaya berpindah kepada si pelanduk. Berkatalah si buaya, “Awas engkau planduk! Di manapun engkau kujumpai, akan aku makan engkau!”

Keesokan harinya, si buaya sudah menunggu di tepi sungai tempat si pelanduk biasanya turun minum. Namun, hingga sore hari ternyata si pelanduk tidak juga datang. Akhirnya si buaya memutuskan untuk kembali ke tengah sungai dan esok paginya akan menunggu di tempat itu lagi. Ia merasa yakin si pelanduk akan datang, sebab pelanduk pasti membutuhkan air untuk minum.

Hari berikutnya, walaupun ditunggu hingga malam hari, ternyata si pelanduk tetap tidak datang. Begitu pula hari berikutnya, si pelanduk tetap tidak menunjukkan batang hidungnya.

Setelah menunggu tiga hari berturut-turut namun tidak juga berhasil mendapatkan si pelanduk, akhirnya si buaya pun naik ke darat untuk mencari rumah si pelanduk. Setelah berada di dekat rumah si pelanduk, si buaya mendapati sebuah sumur yang baru selesai di buat. Buaya itu terus masuk ke dalam sumur. Ia merasa yakin, cepat atau lambat si pelanduk pasti akan minum di sumur itu. Dan, pada saat minum itulah si pelanduk akan langsung diterkam dan dimakannya.

Pagi harinya, sewaktu si pelanduk akan pergi ke sumur untuk minum, ia melihat ada jejak kaki buaya. Sang pelanduk pun segera berteriak, “Kebiasaanku sebelum minum air sumur, aku selalu memanggil. Apabila sumur ada isinya selain air, ia tidak akan menyahut. Namun, apabila isinya hanya air, si sumur pasti menyahut.” Pelanduk pun memanggil sumurnya, “Oh, sumurku!”

Oleh karena panggilan itu tidak dijawab oleh buaya, maka si pelanduk berkata lagi, “Ah, ada isinya sumurku, aku khawatir kalau isinya adalah si buaya, kenapa tidak menyahut.” Sang Pelanduk kembali memanggil, “Oh sumurku!”

Menyahutlah si Buaya di dalam sumur, katanya, “Ya.”

Mendengar jawaban itu, larilah si pelanduk sambil berkata, “Ternyata engkau ada di situ wahai buaya!”

Si buaya yang merasa dipermainkan, semakin bertambah marah lalu keluar dari dalam sumur dan mengejar si pelanduk. Saat dikejar oleh buaya itu, si pelanduk berlari memasuki hutan dan duduk di dekat sarang semut merah. Setelah buaya berhasil mendekati dan akan menerkamnya, si pelanduk berkata, “Tunggu dulu hei buaya. Aku mendapat perintah dari raja hutan untuk menjaga baje ini. Nanti apabila ia telah pulang, akan dimakannya baje ini karena berkhasiat sebagai penghilang lelah.”

Berkatalah si Buaya, “Tolong berikan aku sedikit baje itu. Aku sudah sangat lelah karena mengejarmu.”

“Boleh, tetapi nanti kalau aku sudah jauh dari tempat ini, sebab kalau nanti diketahui oleh yang empunya baje, dia akan marah padaku.”

“Baiklah,” kata si buaya.

Setelah si pelanduk lari, buaya kemudian memakan sarang semut merah itu. Semut merah yang sarangnya diganggu menjadi sangat marah. Mereka secara beramai-ramai menggigit mulut dan tenggorokan buaya hingga menggeleng-geleng karena kesakitan. Semua binatang yang melihatnya tertawa, terutama si kerbau. Begitu kerasnya kerbau itu tertawa hingga gigi atasnya berjatuhan.

Buaya yang merasa ditipu lagi menjadi makin marah dan mengejar si pelanduk hingga ke tepi hutan. Di tempat itu ia melihat pelanduk sedang duduk di samping seekor ular sanca sebesar pohon kelapa yang sedang tidur melintang di tengah jalan. Saat buaya mendekat dan akan menerkamnya, si pelanduk berkata, “Tunggu dulu hei buaya. Saat ini aku sedang mendapat tugas yang sangat penting dan tidak ada yang boleh menghalang-halangiku.”

“Tugas apa itu?” tanya buaya.

“Engkau tidak melihat yang melintang di tengah jalan ini yang panjang dan berlurik-lurik? Itulah ikat pinggang raja dan aku disuruh menjaganya. Ikat pinggang itu luar biasa sebab tidak perlu kita memasangnya kalau hendak dipakai karena akan menggulung sendiri dan mempunyai khasiat dapat menghilangkan pegal-pegal di badan,” kata si pelanduk.

Berkatalah si buaya, “Bisakah aku meminjam ikat pinggang itu? Aku sudah sangat lelah karena mengejar engkau. Badanku sudah mulai pegal-pegal.”

“Boleh, tetapi nanti setelah aku masuk hutan. Jangan sampai raja tahu dan menghukumku karena telah meminjamkannya padamu,” kata si pelanduk.

“Ya, pergilah!” kata si buaya.

Setelah si pelanduk lari, si buaya lalu membaringkan dirinya di tengah-tengah badan ular sanca itu. Si ular yang kaget karena tubuhnya ditimpa oleh buaya langsung membelitnya sehingga buaya pun menggelepar-gelepar. Namun semakin ia menggeliat hendak melepaskan diri, makin menguat pula ikatan sang ular sanca itu. Akhirnya, si buaya pun mati karena tulang-tulangnya remuk oleh belitan ular sanca itu.

Sumber:
Rasyid, Abdul dan Muhammad Abidin Nur. 1999. Cerita Rakyat Daerah Wajo di Sulawesi Selatan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

http://uun-halimah.blogspot.com/search/label/cerita%20rakyat




Labels: Cerita Rakyat, Fabel, Folk Tales, Sulawesi Selatan
Orang Tua beristri Gadis Remaja

Alkisah, ada seorang lelaki tua kaya raya yang baru saja di tinggal mati oleh isterinya. Namun, walau telah berusia lanjut, apabila melihat perempuan muda gairahnya kembali bergejolak. Dan, dengan pengaruh kekayaannya itulah ia kemudian membujuk sebuah keluarga miskin untuk mengawinkan anak gadis mereka yang masih remaja dengan dirinya. Si gadis yang akan dikawin sebenarnya merasa muak melihat lelaki tua bangka itu. Namun, karena orang tuanya memaksa, maka ia pun akhirnya mau menerimanya.

Sesudah kawin, dan malam harinya hendak didekati oleh suaminya, perempuan muda itu berkata, “Aku akan izinkan engkau mendekat, jika engkau membelikan barang yang aku minta.”

Apabila keesokan harinya telah dibelikan dan pada malam harinya akan diajak tidur oleh suaminya, perempuan itu pun akan meminta suatu barang lagi. Dan, jika tidak diiyakan, suaminya tidak diizinkan masuk ke dalam kamar. Kalau pun diizinkan, si suami hanya boleh duduk di pinggir kasur saja. Begitulah seterusnya, si perempuan tetap menjadi gadis (perawan), namun telah memiliki pakaian, perhiasan, dan perabot rumah tangga yang sangat lengkap. Sebaliknya, sang suami semakin bertambah tua dan hartanya semakin terkuras.

Suatu hari, saat si perempuan akan pergi ke pekan, secara kebetulan ia melihat seorang pemuda yang gagah dan tampan lewat di depan rumahnya. Pemuda itu juga akan pergi ke pekan. Si perempuan dengan cepat keluar dari rumahnya dan mengikuti pemuda itu dari belakang.

Sesampainya di pekan, pandangan si perempuan tidak tertuju pada barang-barang yang diperjual-belikan, melainkan hanya pada si pemuda itu. Ke mana saja pemuda itu pergi, si perempuan selalu saja mengikutinya. Dan, pada saat berada di tengah keramaian, si perempuan pun dengan sengaja menyentuh lengan pemuda itu.

Oleh karena berada di tengah keramaian, dan tidak tahu siapa yang menyentuh siapa, maka si pemuda berkata pada perempuan itu, “Maaf, aku telah menyentuhmu.”

“Ah, tidak apa-apa. Jangan pergi ke pekan kalau tak mau bersentuh-sentuhan,” jawab si perempuan.

Setelah meminta maaf, si pemuda pergi lagi berkeliling untuk mencari barang yang dibutuhkannya. Sementara si perempuan tetap mengikutinya dari belakang. Dan, saat si pemuda telah berada di tengah keramaian lagi, si perempuan buru-buru menyentuh lengannya.

“Maaf, aku menyentuhmu lagi,” kata si pemuda

“Ah, tidak apa-apa,” jawab si perempuan.

Setelah itu, si pemuda meneruskan kembali pencariannya dan berhenti di depan warung yang menjual beraneka macam tembakau. Di tempat itu, ia mengambil dan mencoba beberapa jenis tembakau. Saat si pemuda tengah menikmati asap tembakau yang dipilihnya itu, si perempuan yang dari tadi mengikutinya dari belakang tiba-tiba berkata, “Pak penjual, tolong berikan saya satu linting tembakau seperti yang tengah dicoba oleh orang ini!”

Sesudah diberikan oleh si penjual dan sama-sama menikmati asap tembakau, perempuan itu lalu menanyakan kepada si pemuda, “Bagaimana rasanya tembakau yang kamu coba itu?”

“Aku rasa cukup baik, tembakau jenis inilah yang selalu aku beli,” jawab si pemuda.

Kemudian, berkatalah si perempuan pada penjual tembakau, “Kalau begitu, tolong bungkuskan sepotong tembakau seperti yang tengah aku hisap ini, pak.”

Tanpa berkata apa-apa, si penjual langsung membungkus sepotong tembakau dan akan diberikan kepada perempuan itu. Tetapi dengan cekatan, si pemudalah yang menyambutnya, kemudian dilanjutkan kepada si perempuan.

Saat ia menyodorkan uang, si pemuda segera mengatakan, “Tidak usah, aku saja nanti yang membayarnya.”

“Wah saya memberati sepupu,” si perempuan pun sudah mulai menyapa “sepupu”. “Singgah di rumah kalau engkau kebetulan lewat,” perempuan itu melanjutkan.

Si pemuda menjawab, “Baiklah, nanti lain waktu aku akan ke rumahmu”

Satu minggu kemudian, pada waktu hari pasaran berikutnya, si perempuan sengaja berdandan pagi-pagi dan kemudian duduk di jendela, menunggu si pemuda lewat. Tiada berapa lama, lewatlah si pemuda, lalu dipanggilnya, “Singgahlah sepupu, inilah rumah kami.”

Oleh karena rumah itu hanya memakai dinding sekat, suaminya menyahut dari dari ruang tamu, “Lelaki mana yang engkau panggil naik ke rumah?”

“Dia adalah sepupuku. Anak familiku yang tinggal di kampung sebelah,” jawab isterinya berbohong.

“Kalau begitu, suruhlah dia naik ke rumah,” kata suaminya.

Tanpa menghiraukan kata-kata suaminya, perempuan itu memanggil lagi si pemuda, “Singgahlah dahulu ke rumah kami, sepupu.”

“Ya, nanti sekembalinya aku dari pekan,” jawab si pemuda.

Setelah mendapat jawaban dari si pemuda, perempuan itu langsung ke dapur untuk menggoreng pisang dan merebus air. Dan, ketika pisang dan air telah matang, ia pun segera kembali duduk di jendela kamarnya, menunggu pemuda tadi lewat lagi di depan rumahnya.

Saat si perempuan melihat si pemuda telah kembali dari pekan, maka segera ia berteriak, “Hai sepupu, segeralah singgah ke rumah kami. Engkau sudah lama kami tunggu!”

Tanpa berkata-kata, si pemuda lalu membelok menuju rumah perempuan itu. Setelah sampai di muka rumah, ia kemudian dipersilakan duduk di serambi, sementara si perempuan segera masuk ke rumah untuk mengambil minum dan juga pisang goreng.

Pada waktu di dalam rumah, ia melihat suaminya sedang berpakaian untuk menyambut tamu yang tadi dikatakan sebagai sepupu dari isterinya. Ia kemudian menegur suaminya, “Tidak usahlah engkau keluar. Nanti sepupuku akan terkejut dan akan mengatakan kepada orang-orang di desanya bahwa suami sepupunya adalah seorang lelaki yang telah tua bangka. Lagi pula, engkau belum mandi. Di matamu itu masih ada kotoran yang meleleh.”

Teguran perempuan itu akhirnya membuat suaminya urung menyambut tamu yang sudah duduk di serambi rumah. Ia kemudian melepaskan lagi baju yang telah dikenakannya dan duduk di kursi yang ada di dalam kamar tidurnya.

Singkat cerita, si perempuan akhirnya dapat berbincang-bincang dengan si pemuda dengan leluasa. Sementara suaminya hanya duduk terpekur sambil merenungi nasibnya. Hartanya telah habis terkuras, namun belum sempat sekali pun ia berhasil menggauli isterinya. Bahkan, si isteri malah tertarik dengan lelaki lain yang jauh lebih muda dan tampan dari dirinya.

Sumber:
Rasyid, Abdul dan Muhammad Abidin Nur. 1999. Cerita Rakyat Daerah Wajo di Sulawesi Selatan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

http://uun-halimah.blogspot.com/search/label/cerita%20rakyat




Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales, Sulawesi Selatan
Asal Mula Singaraja

Dahulu kala di Pulau Bali, tepatnya di daerah Klungkung hiduplah seorang Raja yang bergelar Sri Sagening. Ia mempunyai istri yang cukup banyak. Istri yang terakhir bernama Ni Luh Pasek. Ni Luh Pasek berasal dari Desa Panji dan merupakan keturunan Kyai Pasek Gobleg. Namun malang nasib Ni Luh Pasek, sewaktu ia mengandung, ia dibuang secara halus dari istana, ia dikawinkan dengan Kyai Jelantik Bogol oleh suaminya.

Kesedihannya agak berkurang berkat kasih sayang Kyai Jelantik Bogol yang tulus. Setelah tiba waktunya ia melahirkan anak laki-laki yang dinamai I Gusti Gede Pasekan.

Bayi bernama I Gusti Gede Pasekan makin hari makin besar, setelah dewasa ia mempunyai wibawa besar di Kota Gelgel. Ia sangat dicintai oleh pemuka masyarakat dan masyarakat biasa.

Ia juga disayang oleh Kyai Jelantik Bogol seperti anak kandungnya sendiri. Pada suatu hari, ketika ia berusia dua puluh tahun, Kyai Jelantik Bogol memanggilnya.

“Anakku,” kata Kyai Jelantik Bogol, ”Sekarang pergilah engkau ke Den Bukit di daerah Panji.”

“Mengapa saya harus pergi kesana, Ayah?”

“Anakku, itulah tempat kelahiran ibumu.”

“Baiklah, Ayah. Saya akan pergi kesana.”

Sebelum berangkat, Kyai Jelantik Bogol berkata kepada anaknya, ”I Gusti, bawalah dua senjata bertuah ini, yaitu sebilah keris bernama Ki Baru Semang dan sebatang tombak bernama Ki Tunjung Tutur. Mudah-mudahan engkau akan selamat.”

“Baik, Ayah!”

Dalam perjalanan ke Den Bukit ini, I Gusti Gede Pasekan diiringi oleh empat puluh orang di bawah pimpinan Ki Dumpiung dan Ki Kadosot.

Setelah empat hari berjalan, tibalah mereka di suatu tempat yang disebut Batu Menyan. Disana mereka bermalam. Malam itu I Gusti Gede Pasekan dan ibunya dijaga ketat oleh para pengiringnya secara bergiliran.

Tengah malam, tiba-tiba datang makhluk gaib penghuni hutan. Dengan mudah sekali I Gusti Gede Pasekan diangkat ke atas pundak makhluk gaib itu sehingga ia dapat melihat pemandangan lepas dari lautan dan daratan yang terbentang di depannya. Ketika ia memandang ke timur dan barat laut, ia melihat pulau yang amat jauh. Sedangkan ketika ia memandang kearah selatan, pemandangannya dihalangi oleh gunung. Setelah makhluk gaib itu lenyap, didengarnya suatu bisikan.

“I Gusti, sesungguhnya daerah yang baru engkau lihat itu akan menjadi daerah kekuasaanmu.”

I Gusti Gede Pasekan sangat terkejut mendengar suara gaib itu. Namun ia juga merasa senang, bukankah suara itu adalah pertanda bahwa pada suatu ketika ia akan mendapat kedudukan yang mulia, menjadi penguasa suatu daerah yang cukup luas.

Memang untuk mencapai kemuliaan orang harus menempuh berbagai kesukaran terlebih dahulu.

Ia menceritakan apa yang didengarnya secara gaib itu kepada ibunya.

Ibunya memberi semangat untuk terus melakukan perjalanan. Keesokan harinya rombongan I Gusti Gede Pasekan melanjutkan perjalanan yang penuh dengan rintangan. Walaupun perjalanan ini sukar dan jauh, akhirnya mereka berhasil juga mencapai tujuan dengan selamat.

Pada suatu hari ketika ia berada di desa ibunya, terjadilah peristiwa yang menggeparkan. Ada sebuah perahu Bugis terdampar di pantai Panimbangan. Pada mulanya orang Bugis meminta pertolongan nelayan di sana, tetapi mereka tidak berhasil membebaskan perahu yang kandas.

Nahkoda perahu Bugis sudah putus asa, tapi tetua kampung nelayan datang mendekatinya.

“Hanya seorang yang dapat menolong Tuan.”

“Tuan, katakan saja, siapa yang dapat menyeret perahu kelautan?”

“Seorang anak muda, namun sakti dan perahu wibawa.” jawab tetua kampung.

“Siapa namanya?”

“I Gusti Gede Pasekan!”

Keesokan harinya orang Bugis itu datang kepada I Gusti Gede Pasekan. Ia berkata, ”Kami mengharapkan bantuan Tuan. Jika Tuan berhasil mengangkat perahu kamu, sebagian isi muatan perahu akan kami serahkan kepada Tuan sebagai upahnya.”

“Kalau itu memang janji Tuan, saya akan mencoba mengangkat perahu kandas itu,” jawab I Gusti Gede Pasekan. Untuk melepaskan perahu besar yang kandas itu, I Gusti Gede Pasekan mengeluarkan dua buah senjata pusaka warisan Kyai Jelantik Bogol.

Ia memusatkan pikirannya. Tak lama kemudia muncullah dua makhluk halus dari dua buah senjata pusaka itu.

“Tuan apa yang harus hamba kerjakan?”

“Bantu aku menyeret perahu yang kandas itu ke laut lepas!”

“Baik Tuan!”

Dengan bantuan dua makhluk halus itu ia pun berhasil menyeret perahu dengan mudah.

Orang lain jelas tak mampu melihat kehadiran si makhluk halus, mereka hanya melihat I Gusti Gede Pasekan menggerak-gerakkan tangannya menunjuk ke arah perahu.

Karena senangnya, orang Bugis itu pun menepati janjinya. Diantara hadiah yang diberikan itu terdapat dua buah gong besar. Karena I Gusti sekarang sudah menjadi orang kaya, ia digelari dengan sebutan I Gusti Panji Sakti.

Sejak kejadian itu, kekuasaan I Gusti Panji Sakti, mulai meluas dan menyebar kemana-mana. Ia pun mulai mendirikan suatu Kerajaan baru di daerah Den Bukit.

Kira-kira pada pertengahan abad ke-17 ibukota Kerajaan itu disebut orang dengan nama Sukasada.

Semakin hari Kerajaan itu makin luas dan berkembang lalu didirikanlah Kerajaan baru. Letaknya agak ke utara dari kota Sukasada. Sebelum dijadikan kota, daerah itu banyak sekali ditumbuhi pohon buleleng. Oleh karena itu, pusat kerajaan baru disebut Buleleng. Buleleng adalah nama pohon yang buahnya sangan digemari oleh burung perkutut. Di pusat kerajaan baru itu didirikan istana megah, yang diberi nama Singaraja.

Nama itu menunjukkan bahwa penghuninya adalah seorang Raja yang seperti singa gagah perkasa. Hal ini dikarenakan I Gusti Panji Sakti memang dikenal sebagai sosok yang sakti dan gagah berani. Jika ada gerombolan bajak laut atau perampok yang mengacau, sang Raja turut maju ke medan perang bersama prajuritnya, karena itu tepatlah jika istananya disebut Singaraja.

Ada pula yang mengatakan bahwa Singaraja berarti "tempat persinggahan raja"’. Konon, ketika istananya masih ada di Sukasada, raja sering singgah disana. Dengan demikian, kata Singaraja berasal dari kata Singgah Raja.

Legenda asal-usul kota Buleleng dan kota Singaraja ini dipercaya penduduk Bali benar-benar pernah terjadi.

Ibu Panji Sakti berasal dari kasta Sudra, yakni kalangan rendah pada masyarakat Hindu-Bali. Hal ini sangat menarik, sebab seseorang yang berasal dari kalangan rendah dapat menjadi orang yang berkedudukan tinggi dan mulia karena perjuangan dan usahanya yang keras meraih cita-cita.

Sumber :
http://www.bali-directory.com/education/folks-tale/AsalMulaSingaraja.asp



Labels: Bali, Cerita Rakyat, Folk Tales, Legenda
Sungai Jodoh


Pada suatu masa di pedalaman pulau Batam, ada sebuah desa yang didiami seorang gadis yatim piatu bernama Mah Bongsu. Ia menjadi pembantu rumah tangga dari seorang majikan bernama Mak Piah. Mak Piah mempunyai seorang putri bernama Siti Mayang. Pada suatu hari, Mah Bongsu mencuci pakaian majikannya di sebuah sungai. “Ular…!” teriak Mah Bongsu ketakutan ketika melihat seekor ulat mendekat. Ternyata ular itu tidak ganas, ia berenang ke sana ke mari sambil menunjukkan luka di punggungnya. Mah Bongsu memberanikan diri mengambil ular yang kesakitan itu dan membawanya pulang ke rumah.

Mah Bongsu merawat ular tersebut hingga sembuh. Tubuh ular tersebut menjadi sehat dan bertambah besar. Kulit luarnya mengelupas sedikit demi sedikit. Mah Bongsu memungut kulit ular yang terkelupas itu, kemudian dibakarnya. Ajaib… setiap Mah Bongsu membakar kulit ular, timbul asap besar. Jika asap mengarah ke Negeri Singapura, maka tiba-tiba terdapat tumpukan emas berlian dan uang. Jika asapnya mengarah ke negeri Jepang, mengalirlah berbagai alat elektronik buatan Jepang. Dan bila asapnya mengarah ke kota Bandar Lampung, datang berkodi-kodi kain tapis Lampung. Dalam tempo dua, tiga bulan, Mah Bongsu menjadi kaya raya jauh melebih Mak Piah Majikannya.

Kekayaan Mah Bongsu membuat orang bertanya-tanya.. “Pasti Mah Bongsu memelihara tuyul,” kata Mak Piah. Pak Buntal pun menggarisbawahi pernyataan istrinya itu. “Bukan memelihara tuyul! Tetapi ia telah mencuri hartaku! Banyak orang menjadi penasaran dan berusaha menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu. Untuk menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu ternyata tidak mudah. Beberapa hari orang dusun yang penasaran telah menyelidiki berhari-hari namun tidak dapat menemukan rahasianya.

“Yang penting sekarang ini, kita tidak dirugikan,” kata Mak Ungkai kepada tetangganya. Bahkan Mak Ungkai dan para tetangganya mengucapkan terima kasih kepada Mah Bongsu, sebab Mah Bongsu selalu memberi bantuan mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Selain mereka, Mah Bongsu juga membantu para anak yatim piatu, orang yang sakit dan orang lain yang memang membutuhkan bantuan. “Mah Bongsu seorang yang dermawati,” sebut mereka.

Karena merasa tersaingi, Mak Piah dan Siti Mayang, anak gadisnya merasa tersaingi. Hampir setiap malam mereka mengintip ke rumah Mah Bongsu. “Wah, ada ular sebesar betis?” gumam Mak Piah. “Dari kulitnya yang terkelupas dan dibakar bisa mendatangkan harta karun?” gumamnya lagi. “Hmm, kalau begitu aku juga akan mencari ular sebesar itu,” ujar Mak Piah.

Mak Piah pun berjalan ke hutan mencari seekor ular. Tak lama, ia pun mendapatkan seekor ular berbisa. “Dari ular berbisa ini pasti akan mendatangkan harta karun lebih banyak daripada yang didapat oleh Mah Bongsu,” pikir Mak Piah. Ular itu lalu di bawa pulang. Malam harinya ular berbisa itu ditidurkan bersama Siti Mayang. “Saya takut! Ular melilit dan menggigitku!” teriak Siti Mayang ketakutan. “Anakku, jangan takut. Bertahanlah, ular itu akan mendatangkan harta karun,” ucap Mak Piah.

Sementara itu, luka ular milik Mah Bongsu sudah sembuh. Mah Bongsu semakin menyayangi ularnya. Saat Mah Bongsu menghidangkan makanan dan minuman untuk ularnya, ia tiba-tiba terkejut. “Jangan terkejut. Malam ini antarkan aku ke sungai, tempat pertemuan kita dulu,” kata ular yang ternyata pandai berbicara seperti manusia. Mah Bongsu mengantar ular itu ke sungai. Sesampainya di sungai, ular mengutarakan isi hatinya. “Mah Bongsu, Aku ingin membalas budi yang setimpal dengan yang telah kau berikan padaku,” ungkap ular itu. “Aku ingin melamarmu dan menjadi istriku,” lanjutnya. Mah Bongsu semakin terkejut, ia tidak bisa menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi bingung.

Ular segera menanggalkan kulitnya dan seketika itu juga berubah wujud menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Kulit ular sakti itu pun berubah wujud menjadi sebuah gedung yang megah yang terletak di halaman depan pondok Mah bongsu. Selanjutnya tempat itu diberi nam desa “Tiban” asal dari kata ketiban, yang artinya kejatuhan keberuntungan atau mendapat kebahagiaan.

Akhirnya, Mah Bongsu melangsungkan pernikahan dengan pemuda tampan tersbut. Pesta pun dilangsungkan tiga hari tiga malam. Berbagai macam hiburan ditampilkan. Tamu yang datang tiada henti-hentinya memberikan ucapan selamat.

Dibalik kebahagian Mah Bongsu, keadaan keluarga Mak Piah yang tamak dan loba sedang dirundung duka, karena Siti Mayang, anak gadisnya meninggal dipatok ular berbisa.

Konon, sungai pertemuan Mah Bongsu dengan ular sakti yang berubah wujud menjadi pemuda tampan itu dipercaya sebagai tempat jodoh. Sehingga sungai itu disebut “Sungai Jodoh”.

Moral : Sikap tamak, serakah akan mengakibatkan kerugian pada diri sendiri. Sedang sikap menerima apa adanya, mau menghargai orang lain dan rela berkorban demi sesama yang membutuhkan, akan berbuah kebahagiaan.

Sumber : Elexmedia




Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales, Riau Kepulauan
Pangeran Pande Gelang dan Putri Cadasari


Oleh Zaenul Muttaqien

DI tengah sebidang kebun manggis, seorang putri yang cantik jelita duduk termenung. Sorot matanya kosong, bibirnya terkatup rapat menandakan dia sedang bermuram durja.

Tidak jauh dari tempat sang Putri duduk, melintaslah seorang lelaki paruh baya dengan karung di pundaknya. Lelaki itu tertegun sesaat manakala melihat sang Putri. Wajah lelaki itu tampak penuh kekhawatiran.

"Sampurasun," sapanya.

Sang Putri tak menyahut. Dia benar-benar larut dalam kesedihannya, sehingga tidak menyadari kehadiran lelaki itu.

"Sampurasun," Lelaki itu mengulang sapa.

"Ra... rampes," Sang Putri terkejut. "Si... siapa?"

"Maaf jika saya telah mengejutkan Tuan Putri," kata lelaki itu seraya menundukkan kepalanya.

Sang Putri tidak segera menjawab. Dia memperhatikan penuh seksama lelaki yang berdiri di hadapannya. Wajah lelaki itu tidaklah tampan, kulitnya pun legam. Namun Putri merasa yakin, lelaki itu adalah lelaki baik. Seumpama buah manggis: hitam dan pahit kulitnya, tapi putih dan manis buahnya.

"Sedari tadi tadi saya perhatikan, Tuan Putri tampak gundah gulana. Ada apa gerangan?"

"Saya kira tak ada guna menceritakan masalah yang saya hadapi kepada orang lain."

"Kalau begitu, maafkan saya telah mengganggu Tuan Putri. Saya berharap Tuan Putri berkenan melupakan pertanyaan saya tadi," ujar lelaki itu seraya hendak berlalu.

"Tunggu, Kisanak. Jangan pergi dulu!" Sang Putri mencegah.

Lelaki itu mengurungkan niatnya. Sejenak dia melirik sang Putri.

"Sekali lagi maafkan saya," pinta sang Putri. "Bukan maksud saya menyinggung perasaan Kisanak, apalagi menganggap rendah."

Beberapa saat sang Putri terdiam. Kemudian tiba-tiba saja matanya membasah. Sang Putri menangis.

Lelaki itu duduk di dekat sang Putri. Hatinya diliputi keingintahuan yang besar tentang apa yang sebenarnya terjadi.

"Siapa nama Kisanak?" tanya sang Putri.

"Saya... saya pembuat gelang. Pande gelang. Orang-orang sering memanggil saya dengan sebutan Ki Pande."

"Baiklah, Ki Pande. Saya akan bercenta, mudah-mudahan cerita saya akan menghilangkan penasaran Ki Pande. Selama ini saya tidak pernah menceritakan masalah ini kepada orang lain karena saya merasa hanya akan sia-sia belaka. Tidak akan ada seorang pun yang bisa membantu saya," jelas sang Putri dengan mata berkaca-kaca.

"Tapi mengapa Tuan Putri mau menceritakannya kepada saya?"

"Saya hanya ingin menghilangkan penasaran Ki Pande,"

Ki Pande tidak berkata-kata lagi. Dia hanya menundukkan kepala dengan hati dipenuhi rasa iba.

"Nama saya Putri Arum ...." sang Putri memulai centanya.

Menurut Putri Arum, dirinya sedang mendapat tekanan dari seorang pangeran bernama Pangeran Cunihin. Meskipun tampan, Pangeran Cunihin sangatlah bengis dan kejam. Selain itu, Pangeran Cunihin pun sangat berkuasa dan sakti mandraguna. Apa pun yang diinginkannya harus terpenuhi. Semua titah tak bisa berbantah.

"Saya sangat sedih, Ki, karena dia akan menjadikan saya sebagai istrinya," Putri Arum mengakhiri ceritanya.

"Saya ikut bersedih," Ki Pande tak kuasa menahan airmata. "Maafkan saya, karena tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk membantu Putri."

"Saya mengerti, Ki. Tidak ada seorang pun yang bisa mengakhiri angkara Pangeran Cunihin," ujar Putri Arum lirih. "Tadinya saya mengira wangsit yang saya terima benar adanya."

"Wangsit?" tanya Ki Pande.

"Ya. Menurut wangsit, saya harus menenangkan diri di bukit manggis ini. Kelak katanya akan ada seorang pangeran yang baik hati, manis budi pekertinya, dan sakti mandraguna, yang datang menolong saya. Namun penantian ini hampir sia-sia. Tiga hari lagi Pangeran Cunihin akan datang dan memaksa saya kawin dengannya. Barangkali ini sudah suratan takdir saya, Ki, sebab setelah sekian lama, dewa penolong yang hatinya seputih dan semanis buah manggis itu ternyata tak kunjung tiba," tutur Putri Arum menghiba.

Mendengar hal tersebut, KI Pande mengenyitkan dahi, seolah ada yang tengah dipikirkannya.

"Oh, tadi Aki mengatakan bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan untuk membantu saya?" tanya Putri Arum, teringat kata-kata Ki Pande.

"Benar," jawab Ki Pande.

"Itu berarti, meskipun sedikit ada yang bisa Aki lakukan untuk saya!" seru Putri Arum, penuh harap.

"Barangkali itu tidaklah berarti," kata Ki Pande.

"Katakan saja, Ki," Putri Arum penasaran.

"Saya hanya ingin menyumbang saran. Terima saja keinginan Pangeran Cunihin itu."

"Apa Aki sudah gila? Bagaimana saya mau dipersunting lelaki yang sangat saya benci?" sergah Putri Arum dengan wajah memerah.

Ki Pande sangat terkejut dengan perubahan itu, tapi dia berusaha tetap tenang. "Maksud saya, terima saja keinginan dia tapi dengan syarat."

"Dengan syarat?" tanya Putri Arum setengah bergumam.

"Ya, dengan syarat yang sangat susah dipenuhi."

"Hal apa yang tidak bisa dilakukan Pangeran Cunihin? Dia sangat sakti mandraguna. Laut saja bisa dikeringkannya!"

"Yakinlah, Tuan Putri. Tidak semua orang akan jaya selamanya," Ki Pande berusaha meyakinkan Putri Arum.

"Kalau begitu, apa syarat yang Aki maksudkan?"

"Pangeran Cunihin harus melubangi batu keramat supaya bisa dilalui manusia. Kemudian batu tersebut harus diletakkan di pesisir pantai. Semuanya harus dikerjakan tidak lebih dan tiga hari," Ki Pande menjelaskan.

"Bukankah syarat itu sangat mudah dilakukan oleh Pangeran Cunihin?"

"Tapi tidak semua orang mau melakukannya. Sebab dengan melubangi batu keramat, setengah dari kemampuan orang tersebut akan hilang."

"Setelah itu"" tanya Putri Arum.

"Serahkan semuanya kepada saya!"

Mendengar seluruh penjelasan Ki Pande, akhirnya Putri Arum menyetujui. Ki Pande kemudian mengajak Putri Arum ke tempat tinggalnya, sambil membawa karung yang berisi alat-alat membuat gelang.

Perjalanan menuju tempat tinggal Ki Pande sangat melelahkan Putri Arum. Sudah hampir setengah hari perjalanan, mereka belum juga sampai. Putri Arum pun jatuh pingsan di atas sebuah batu cadas. Orang-orang kampung membantu Ki Pande rnembawa Putn Arum ke rumah salah seorang penduduk dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Salah seorang tetua kampung mengatakan bahwa Putri Arum bisa segera pulih jika minum air gunung yang memancar melalui batu cadas.

Beberapa orang kampung bergegas mencari sumber mata air batu cadas. Dan keajaiban pun terjadi, Putri Arum kembali sehat setelah meminum air yang berasal dari batu cadas itu. Penduduk kampung lalu memanggil Putri Arum dengan sebutan baru yaitu Putri Cadasari.

Sementara itu, Ki Pande tengah menyiapkan rencana baru. Dia membuat gelang yang sangat besar, yang bisa dilalui manusia. Menurut Ki Pande, gelang tersebut akan dipasang pada lingkaran lubang batu keramat yang dibuat Pangeran Cunihin.

Waktu yang ditentukan Pangeran Cunihin pun tiba. Dia datang menemui Putri Cadasari dan menagih jawaban. Putri Cadasan pun mengajukan syarat kepada Pangeran Cunihin.

"Hahaha, itu syarat yang sangat gampang, Tuan Putri. Tapi apa maksud dari syarat itu?" tanya Pangeran Cunihin.

Putri Cadasari terkejut mendapat pertanyaan seperti Itu. Tapi dia segera menyembunyian keterkejutannya. "Saya hanya ingin agar bulan madu kita tidak terganggu, Pangeran. Duduk di atas batu sambil menikmati birunya laut, bukankah itu sangat menyenangkan, Pangeran?" jelas Putri Cadasari.

"Wah, Tuan Putri memang sangat romantis!" puji Pangeran Cunihin, pula.

Tak sampai tiga hari dan tanpa halangan yang berarti, Pangeran Cunihin berhasil menemukan batu keramat yang disyaratkan. Batu keramat itu kemudian dibawanya ke sebuah pesisir yang sangat indah. Ki Pande dan Putri Cadasari diam-diam mengkuti dari kejauhan. Di tempat yang terlindung mereka bersembunyi, menyaksikan apa yang dilakukan Pangeran Cunihin.

Pangeran Cunihin tampak duduk bersila di hadapan batu keramat. Dengan konsentrasi penuh, Pangeran Cunihin menempelkan dua telapak tangannya ke batu keramat. Tiba-tiba tangan Pangeran Cunihin bergetar. Sesaat kemudian batu keramat itu pun retak dan berjatuhan. Sungguh ajaib, sebuah lubang yang sangat besar tercipta di tengah batu keramat itu.

"Hahaha, aku berhasil. Tuan Putri akan segera menjadi milikku!" Pangeran Cunihin mengangkat kedua tangannya seraya berlari mencari Putri Cadasari.

Kesempatan itu tak disia-siakan Ki Pande untuk memasang gelang besar pada batu keramat yang telah berlubang Itu. Setelah itu dia kembali hendak bersembunyi, tapi didengarnya sebuah bentakan keras.

"Heh tua bangka, sedang apa kau di sini?!"

Ternyata Pangeran Cunihin telah berada kembali di situ, bersama Putri Cadasari.

"0, aku tahu. Rupanya kau sedang mengagumi mahakaryaku. Bukankah aku pernah mengatakan kepadamu bahwa kau tidak pantas menjadi pemenang. Kau hanya pantas menjadi pecundang! Hahaha!" Pangeran Cunihin tertawa puas. "Lihatlah, sang Putri telah menjadi milikku. Kau tidak bisa lagi memilikinya!"

Putri Cadasari terkejut heran mendengar omongan Pangeran Cunihin, seolah telah mengenal Ki Pande sebelumnya. Namun belum lagi keheranan itu terjawab, Pangeran Cunihin telah menarik tangan Putri Cadasari untuk melihat batu keramat yang telah berlubang itu.

"Tuan putri, lihatlah! Keinginan Tuan Putri telah terwujud. Sebuah batu besar berlubang di pesisir pantai. Sungguh sebuah tempat yang indah dan romantis," kata Pangeran Cunihin.

Putri Cadasari berusaha bersikap tenang dan mencoba menunjukkan kegembiraan, w alau di dalam hatinya dia merasa sangat takut impian buruknya menjadi pendamping Pangeran Cunihin akan menjadi kenyataan.

"Apa karena terlalu gembira saya seakan tidak bisa melihat bahwa batu ini telah berlubang?" kata Putri Cadasan.

"Hm, baiklah. Jika Tuan Putri tidak percaya, saya akan melewati batu ini untuk membuktikannya," jawab Pangeran Cunihin.

Tanpa berpikir panjang, Pangeran Cunihin kemudian berjalan melewati lubang batu keramat itu. Tapi tiba-tiba Pangeran Cunihin merasakan tubuhnya sakit luar biasa. Dia berteriak-teriak sekuat tenaga. Suaranya memecah angkasa. Lalu seluruh kekuatannya pun menghilang. Dia terduduk lemah, tak kuasa berdiri. Perlahan, Pangeran Cunihin berubah menjadi seorang tua renta tanpa daya, seolah telah melewati lorong waktu. Sementara itu, KI Pande pun berubah menjadi seorang pemuda tampan.

"Bagaimana semua ini bisa terjadi?" Putri Cadasari tidak mengerti menyaksikan keanehan-keanehan itu.

"Sebenarnya ini semua akibat perbuatan Pangeran Cunihin. Dulu kami berteman. Tapi setelah mendapat kesaktian dari guru, dia mencuri seluruh ilmu dan kesaktian saya, lalu menjadikan saya sebagai seorang yang sudah tua. Saya kemudian mencari kesaktian untuk mengembalikan keadaan saya. Ternyata hanya satu yang bisa mengembalikan keadaan itu, yakni Jika Pangeran Cunihin melewati gelang-gelang buatan saya," terang Ki Pande seraya menatap ke arah Pangeran Cunihin yang terkulai tak berdaya.

"Kini saya telah kembali seperti sedia kala. Ini semua karena jasa Tuan Putri. Untuk itu saya menghaturkan terima kasih," ujar Pangeran Pande Gelang, menggenggam tangan Putri Cadasari.

"Ah, sayalah yang seharusnya berterima kasih, Pangeran. Ternyata wangsit yang saya terima itu memang benar."

Akhirnya, keduanya meninggalkan batu keramat berlubang itu. Beberapa waktu kemudian mereka pun menikah dan hidup berbahagia sampai akhir hayatnya.

Tempat mengambil batu keramat tersebut kemudian dikenal dengan kampung Kramatwatu, dan batu besar berlubang di pesisir pantai kini dikenal dengan nama Karang Bolong. Sedangkan tempat sang Putri melaksanakan wangsit di bukit manggis, kini orang mengenalnya dengan kampung Pasir Manggu. Manggis dalam bahasa Sunda berarti Manggu dan pasir berarti bukit. Sementara tempat Putri disembuhkan dari sakitnya sampai kini bernama Cadasari di daerah Pandeglang, tempat Pangeran Pande Gelang membuat gelang.




Labels: Banten, Cerita Rakyat, Folk Tales
Asal Mula Kota Cianjur

Pada jaman dahulu di daerah jawa barat ada seorang lelaki yang sangat kaya. Seluruh sawah dan lading di desanya menjadi miliknya. Penduduk desa hanya menjadi buruh tani penggarap sawah dan lading lelaki kaya itu. Orang kaya itu oleh penduduk desa dijuluki Pak Kikir karena memang dia adalah orang yang sangat kikir. Kekikirnya Pak kikr tidak pandang bulu, sampai-sampai terhadap anak lelaki satu-satunya pun dia juga sangat pelit.
Untunglah sifat kikir itu tidak menular pada anak lelakinya itu. Anak Pak Kikir itu berwatak baik. Tanpa sepengetahuan ayahnya, sering dia membantu tetangganya yang kesusahan.
Menurut anggapan dan kepercayaan masyarakat desa itu, jika menginginkan hasil panen yang baik dan melimpah maka harus diadakan pesta syukuran denga baik pula. Takut jika panen berikutnya gagal, maka Pak Kikir terpaksa mengadakan pesta syukuran dan selamatan semua warga desa diundang oleh Pak Kikir. Penduduk desa mengira akan mendapatkan makanan yang enak dan lezat dalam selamatan itu. Perkiraan itu meleset, ternyata Pak Kikir hanya menyediakan hidangan ala kadarnya, itupun tidak cukup untuk menjamu seluruh orang yang diundang. Banyakdinatara undangan yang tidak mendapat makanan. Mereka akhirnya hanya dapat mengelus dada atas sikap Pak Kikir yang lagi-lagi terbukti kikir.
” huh!! Sudah berani mengundang orang ternyata tidak dapat menyediakana makanan, sungguh keterlaluan, buat apa hartanya yang segudang itu”
”Tuhan tidak akana memberikan berkah pada jartanya yang banyak itu”
Demikianlah pergunjingan dan sumpah serapah dari orang-orang miskin mewarnai pesta selamatan yang diadakan Pak Kikir.
Pada saat pesta selamatan sedang berlangsung, yiba-tiba datanglah seorang nenek tua renta yang meminta sedekah pda Pak Kikir.
”Tuan... berilah saya sedekah, walau hanya dengan sesuap nasi…”rintih nenek tua itu
”Apa sedekah? Kau kira untuk menanak nasi tidak diperlukan jerih payah hah...?
”Berilah saya sedikit saja dari harta tuan yang berlimpah ruah itu......??”
”Tidak! Cepat pergi dari sini, kalau tidak aku akan suruh tukung pukulku untuk meghajarmu!!”

Nenek itu nampak mengeluarkan air mata.
Demikianlah nenek tua itu tidak mendapat sedekah tetapi malah diusir sevcara kasar oleh Pak Kikir. Dia segera meninggalkan halaman rumah Pak Kikir.
Melihat kejadian itu putera Pak Kikir sangat sedih. Diam-diam dia mengambil jatah makan siangnya, lalu dikejarnya nenek yang sudah sampai di ujung desanya itu, diberikannya makanan itu kepada si nenek.
Nenek itu merasa sangat bergembira ” sengguh baik engkau nak, semoga kelak hidupmu menjadi mulia”
Setelah si anak muda itu pergi, si nenek melanjutkan perjalanannya. Sampailah dia di sebuah bukit dekat desa, dia berhenti sejenak. dilihatnya rumah milik Pak Kikir yang palling besar dan megah di desa itu. Sementara penduduk sekelilingnya menderita katrena ketamakan Pak Kikir.
Karena melihat kelakukan Pak Kikir itu, si nenek marah dan berkata ” ingat-ingatlah Pak Kikir, keserakahan dan kekikiranmu akan menenggelamkan dirimu sendiri. Tuhan akan menimpakan hukuman kepadamu”
Nenek itu lalu menancapkan tongkatnya di tanah, lalu dicabutnya lagi. Dari lubang tancapan itu memancar air yang sangat deras. Makin lama air itu makin besar dan menuju ke desa.
“Banjir!” “Banjirrr!!!!!” teriak orang-orang desa yang mulai panic melihat datangnya air bah dari lembah itu.
Anak Pak Kikir segera menganjurkan orang-orang agar segera meninggalkan desa dan lari ke atas bukit.
“cepat tinggalkan desa ini, larilah ke atas bukit yang aman”
“Tapi sawah dan ternak kita bagaimana?”
“Kalian pilih harta atau jiwa? Sudah tidak ada waktu untuk membawa harta lagi”
Anak Pak Kikir yang bijak itu terus berteriak-teriak mengingatkan penduduk desa. Ia juga membujuk ayahnya agar segera keluar rumah.
”ayah cepat tingga;lkan rumah ini, kita harus segera keluar menyelamatkan diri”
”Apa? Lari begitu saja. Tolol!! Aku harus mengambil peti hartaku yang kusimpan di dalam tanan dulu”
Karena tidak ada waktu anak Pak Kikir segera berlari menyelamatka diri, sementara Pak Kikir terus mengumpulkan harta bendanya. Dia terlambat menyelamatkna diri, akhirnya tenggelam dalam arus air bah.
Sebagian besar penduduk desa termasuk putera Pak Kikir selamat. Mereka sedih melihat desanya tenggelam. Kemudian mereka memutuskan untuk mencari daerah baru. Mereka mengangkat anak Pak Kikir sebagai pemimpin desa mereka yang baru.
Putera Pak Kikir lalu menganjurkan penduduk untuk mengolah tanah yang telah dibagi rata. Pimpinan desa baru itu mengajari penduduk menanam padi dan bagaimana mengairi sawah secara baik. Desa itu kemudian disebut desa Anjuran, penduduk desa selalu mematuhi anjuran pimpinannnya.
Lama kelamaan desa itu berkembang menjadi kota kecil disebut Cianjur. Ci berarti air. Cianjur berarti daerah yang cukup mengandung air. Anjuran pemimpin desa dijadikan pedoman para petani dalam mengolah sawah, maka sampai sekarang ini bersa Cianjur dikenal sangat enak dan gurih.

Sumber :
http://panggoengsandiwara.blogspot.com/2008/05/asal-mula-kota-cianjur-cerita-rakyat.html



Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales, Jawa Barat
Dongeng Si Penjual Kucing

Ini dongeng tentang seorang yang tamak dan suka meniru tindakan orang lain tanpa perhitungan.
Alkisah ada seorang petani yang miskin namun rajin dan suka bekerja keras. Namanya abdulah. Tanahnya hanya sepetak padahal ia harus menghidupi istri dan anak-anaknya. Itu cak cukup. Karena itu ia berencana ke jawa untuk mengadu nasib. Istrinya setuju dan mendukungnya.
Ia berangkat ke jawa hanya membawa uang 10 gobang ( 1 gobang = 2,5 sen). Uang itu hanya pas untuk ongkos berlayar ke jawa.
Di tengah jalan, ia bertemu dengan perempuan yang nampak miskin sedang menggendong anaknya yang tampak pucat kelaparan. Di tang perempuan itu ada sebuah keranjang dengan isi 3 ekor kucing. Perempuan itu mendatangi abdullah dan meminta dia untuk membeli kucing-kucingnya. Abdullah berpikir jika ia tak menolong mungkin saja mereka bisa mati kelaparan. Maka ibalah hatinya. Perempuan itu menawarkan 5 gobang untuk 3 kucing. Namun uang abdulla sangatlah sedikit sehingga ia menawar 3 gobang dan wanita itu menyetujuinya.
Sesampainya di pelabuhan, Abdullah memilih naik perahu layar yang biayanya lebih murah. Namun ternyata perjalanan harus ditempuh dengan banyak kesulitan karena anginnya berhembus sangat besar dan kencang. Juru mudi tak mapu mengendalikan perahu itu dan akhirnya perahu itu terombang-ambing terbawa oleh laju angin.
Rupanya angin tak membawa mereka ke pulau jawa tetapi ke arah lain. Sebuah pulau yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Pulau itu bernama pulau tikus. Dinamai demikian karena di pulau itu banyak sekali tikus berkeliaran. Semua penduduk sudah berusaha membasminya, tapi tikus-tikus itu tak kunjung habis dan malah seakan tambah banyak. Padi di lumbung atau di sawah, juga persediaan makanan penduduk, semua disikat habis oleh tikus-tikus itu.
Melihat keadaan itu, Abdullah jadi teringat pada kucing-kucingnya. Ia lalu menunjukkan dan menerangkan pada penduduk pulau itu bahwa binatang yang dibawanya itu bisa membasmi dan memburu tikus. Penduduk pun lalu membawa Abdullah ada Kepala Pulau setempat.
”Benarkah binatangmu itu dapat membasmi tikus? ”tanya kepala Pulau”kalau benar aku akan berani beli bintang itu lima dinar per ekor”
”Kalau begitu, lihat saja dulu binatang itu. Kalau tertarik silahkan ambil semuanya.saya punya memeiliki 3 ekor ” kata Abdullah.
Abdullah lalu mengeluarkan seekor kucing dalam karungnya. Lama tak makan, tentu saja kucing itu merasa sangat lapar. Begitu dilihatnya ada tikus berkeliaran di depan matanya, langsung saja dikejarnya dengan ganas. Setelah tertangkap langsung dicabik-cabik tikus itu. Stelah makan satu ekor, si kucing lari mengejar tikus lainnya dan seterusnya.
Kepala pulau sangat puas menyaksikan itu. Dan akhirnya Abdullah pun mendapat 15 dinar (dinar = mata uang emas).
Abdullah girang hatinya. Lalu ia membatalkan niatnya untuk ke pulau jawa dan akhirnya dia pulang kembali ke Madura.
Sesampainya di Madura, uang itu dibelikan tanah yang lebih luas dan dia kerjakan sendiri tanah itu. Sampai akhirnya ia menjadi cukup berada.
Abdullah tak segan menceritakan keberuntungannya pada siapa saja yang bertanya padanya. Rupanya ada 3 orang penduduk desa yang ingin mengadu nasib. Mereka bermaksud mengikuti jejak seperti Abdullah. Mereka sudah berketetapan hati untuk menjual kucing-kucing ke pulau tikus. Seluruh hartanya mereka jual dan dibelikannya kucing-kucing yang banyak. Setelah siap mereka menyewa perahu ke pulau tikus itu.
Namun ternyata sekarang tikus-tikus di pulau itu sudah musnah. Setelah 3 ekor kucing Abdullah itu memakan tikus-tikus di pulau itu, mereka kenyang dan bertambah besar, lalu beranak pinak. Keturunannya juga memakan tikus-tikus lain yang masih tersisa. Sampai akhirnya tikus-tikus di sana habis semuanya.
Mereka kecewa dansedih hatinya. Semua usaha yang dilakukannya selama ini ternyata tak ada gunanya sama sekali. Mereka lalu pulang kembali ke Madura dengan perasaan malu.
Sumber :
http://panggoengsandiwara.blogspot.com/2008/05/cerita-rakyat-jawa-timur-dongeng-si_21.html




Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales, Jawa Timur
Klenteng Ancol

Cerita rakyat Betawi
Dahulu kala, ada sebuah kapal berlayar dari Negeri China menuju ke pelabuhan Sunda Kelapa, kapal itu milik Sampo Toalang. Di dalam kapal itu ada seorang juru masak yang bernama Ming.
Suatu hari, pada saat dalam perjalanan, tiba-tiba kapal itu diterjang ombak yang sangat besar. Semua orang panik dibuatnya. Mereka tidak menyangka akan adanya ombak besar karena cuaca hari itu sangat bagus.
Tiba-tiba di depan kapal mereka, muncul seekor naga yang amat besar. Dengan menjulurkan lidahnya, naga itu menghadang laju kapal itu. Rupanya naga itulah yang membuat ombak besar sehingga kapal terombang ambing.
Seketika Sampo Toalang mengeluarkan pedangnya, kemudian dia melompat ke arah sang naga dan pertarunganpun tak terhindarkan. Pertarungan itu seru sekali. Setelah lama bertarung, akhirnya naga itu berhasil dibunuh oleh Sampo Toalang. Melihat hal itu, anak buah kapal bersorak gembira karena semua bisa selamat.
Kapal Sampo Toalang kembali melanjutkan perjalanan dengan aman.
Singkat cerita, akhirnya kapal itu sudah mendekati daerah sunda kepala. Namun tiba-tiba Sampo Toalang berkata ”Saudara-saudara, kita akan berlabuh di Ancol, karena Sunda kelapa sedang banjir” ” sekarang kalian turunlah ke darat. Can belilah oabat-obatan dan kamu, Ming, belilah makanan dan minuman”
Akhirnya, semua anak buah Sampo Toalang turun di ancol. Mereka semua menjalankan tugas masing-masing.
Ming sang juru masak pergi ke pasar untuk membeli makanan dan minuman yang akan digunakan sebagai bahan persediaan di kapal.
Di sela-sela belanja, Ming melihat seorang gadis cantik. ”siapa gadis cantik itu, aku ingin tahu namanya” kata Ming dalam hati. Tanpa sungkan-sungkan akhirnya Ming mendatangi gadis itu ”Salam, namaku Ming, bolehkah aku berkenalan denganmu?” tanya Ming. ”Namaku Siti. Lengkapnya Siti Wati” kata gadis cantik itu.
Melihat kecantikan siti, Ming langsung menyukainya. Ming lupa akan tugasnya sebagai juru masak di kapal dan malah akhirnya dia memutuskan untuk tinggal di Ancol demi si Siti.
Asmara mereka berdua berlanjut dan beberapa bulan kemudian Ming dan Siti Wati menikah.
Ming sangat disukai oleh penduduk Ancol. Dia mengajarkan penduduk Ancol memasak sesuai keahliannya sebagai juru masak.
Telah bertahun-tahun Ming tinggal di Ancol.
Suatu hari Ming dan istrinya sakit keras, entah apa penyakitnya, lama sakit mereka tak sembuh-sembuh dan akhirnya Ming dan Siti Wati meninggal dunia.
Untuk mengenang Ming dan Siti Wati, penduduk Ancol membangun sebuah kelenteng. Kelenteng itu dinamai kelenteng Ancol.

Sumber :
http://panggoengsandiwara.blogspot.com/2008/06/cerita-rakyat-betawi-klenteng-ancol.html



Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales, Jakarta
Terjadinya Pohon Kelapa



Pada zaman dahulu hiduplah seorang laki-laki bernama Mora dengan istrinya yang cantik bernama Taribuy. Mora dan Taribuy adalah manusia pertama yang mendiami pulau Moor. Selama bertahun-tahun mereka berdua hidup ditengah-tengah hutan pulau karang itu. Kehidupan mereka hanya bergantung pada tumbuh-tumbuhan hutan dan hasil kebun mereka seperti tunas bambu (rebung), buah dan daun genemo, serta kacang merah dan kacang hijau.
Perjalanan hidup perkawinan dua sejoli suami istri ini berlangsung aman, damai dan sejahtera bertahun-tahun lamanya. Hanya masih tersisa satu keinginan mereka berdua kepada sang pencipta, yaitu mereka ingin memperoleh anak. Sang pencipta mendengar keinginan mereka, maka pada suatu hari Taribuy merasakan suatu perubahan dalam dirinya. Pada awalnya ia masih bertanya-tanya apakah gerangan yang dia alami ini, setelah di renungkan akhirnya dia tau kalau yang dialami ini adalah jawaban dari sang pencipta akan keinginannya dan suaminya selama ini. Ia memahami bahwa didalam dirinya telah berlangsung suatu proses kehidupan, benih hasil cinta kasih antara dirinya dan suaminya selama bertahun-tahun. Ia hamil! Keadaan ini makin di rasakan ketika usia kehamilannya memasuki bulan ketiga dan keempat. Begitu Mora mengetahui bahwa istrinya sedang mengandung,betapa gembiranya dia sehingga dia mengambil keputusan untuk melakukan semua pekerjaan yang biasa mereka lakukan berdua. Sedang istrinya diharuskan tinggal di rumah menjaga keselamatannya dan juga bayi yang ada di kandungannya. Mora sangat bahagia dengan kehamilan istrinya dan dia sangat bersemangat mengolah kebun serta usaha yang lainnya.
Tak terasa tibalah waktunya istrinya Taribuay akan melahirkan. Mereka berdua mempersiapkan segala sesuatu untuk kelahiran anak mereka. Akhirnya Taribuay melahirkan seorang anak laki-laki dan diberi nama “Reio” yang artinya “kasihan dia”.
Hanya kebahagian yang selalu ada dalam kaluarga ini. Waktu terus berlalu hingga Reio sudah berumur lima tahun. Pertumbuhannya sangat di perhatikan oleh kedua orang tuanya. Mereka begitu bangga terhadap anak laki-laki mereka satu-satunya itu. Kehadirannya sungguh menyenangkan hati mereka, menjadi penghibur dikala kepenatan datang menghantui mereka.
Sayangnya, sang pencipta berkehendak lain! Mora ayah Reio mulai jatuh sakit. Sakitnya tak terobati, walaupun telah di lakukan berbagai usaha untuk mengembalikan kesehatannya. Segala usaha mereka tidak membuahkan hasil. Akhirnya Mora meninggal dunia, meninggalkan Taribuy dan Reio.
Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir Mora memanggil istrinya dan berkata: “Bila saya meninggal, kuburlah jenazah saya di halaman rumah dan kau jaga serta bersihkan. Kalau ada tumbuhan yang tumbuh di situ, kau jaga dan rawatlah dengan baik karena tumbuhan itu dapat menjamin kehidupan kalian berdua”. Taribuy dan Reio dengan tekun melaksanakan amanah yang dibebankan oleh Mora. Hari berlalu bulan pun berganti, Reio dengan setia menjaga pusara ayahnya sambil menanti apa yang akan terjadi seperti apa yang di pesankan ayahnya sebelum meninggal.
Akhirnya pada suatu malam, tumbuhlah sebatang pohon di antara pusara ayahnya, tepatnya di bagian kepala pusara ayahnya. Pohon itu dirawat dan di pelihara dengan baik, sehingga makin hari makin besar dan akhirnya berbuah. Reio dan ibunya Taribuy yang tidak pernah melihat pohon dan buah tersebut, merasa heran melihat bentuk dan jenis buah yang dihasilkan pohon tersebut.
Sambil memegangi buah dari pohon tersebut Reio mulai mereka-reka apa yang akan dilakukan dengan buah tersebut. Akhirnya dia mulai menguliti buah itu. dia mulai menguliti kulit serabut buah yang sangat tebal dan dibalik kulit itu ternyata masih ada tempurung yang cukup keras. Setelah memecah tempurungnya maka terlihatlah isinya yang berwarna putih, yaitu daging kelapa. Dan pada buah yang masih muda dagingnya lembut dan pada buah yang sudah tua dagingnya agak keras. Walau demikian tidak terlalu jauh berbeda cita rasa antara keduanya. Maka buah yang berasal dari pohon yang tumbuh di bagian kepala pusara Mora itu mencitrakan dirinya sendiri. Sabut kelapa mencitrakan rambutnya, tempurungnya mencitrakan tulangnya, mata dan mulut dicitraka pada tiga lubang yang biasanya terdapat di bagian puncak buah, dan air yang terdapat di dalam tempurung mencitrakan darahnya. Sedangkan isi dari buah itu mencitrakan daging dari tubuh Mora, dan tombong atau bakal tunas mencitrakan jantungnya. Buah itu di beri nama dalam bahasa Moor “ Nera” yang artinya kepala Mora.
Dengan demikian bertambahlah perbendaharaan tanaman yang mereka miliki. Buah kelapa dengan dagingnya yang enak rasanya, air kelapa yang di minum menyegarkan, serta daun dan buah genemo yang di masak dengan santan kelapa terasa nikmat bila di makan. Itulah sebabnya sampai saat ini orang Moor suka sekali makan buah kelapa dan sayur daun genemo.*

Sumber :
http://tabloidjubi.wordpress.com/2008/03/27/terjadinya-pohon-kelapa/



Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales, Papua
Asal Usul Pulau Belitung

Penulis: BULE SAHIB

ALKISAH, pada zaman dahulu, di Pulau Bali memerintahlah seorang raja yang adil dan bijaksana. Karena bijaksana dan adilnya, sang Raja sangat disegani dan disayangi rakyatnya. Dikisahkan sang Raja ini mempunyai seorang putri yang cantik jelita. Kecantikannya terkenal hingga ke berbagai pelosok. Hingga setelah menginjak dewasa, banyak pemuda daerah lain hendak melamarnya untuk dijadikan istri.


Pengkalan Limau - Tanjung Kelumpang


Suatu hari di antara para pemuda yang datang melamar itu terdapatlah seorang putra mahkota. Namun apa hendak dikata, lamaran itu ditolak putri sang Putri, sehingga Baginda merasa heran. Begitulah yang terjadi hingga lamaran tujuh putra mahkota kerajaan lain selalu ditolak sang putri.


“Mengapa putriku selalu menolak setiap lamaran yang datang?” begitu tanya baginda dalam hati. Baginda raja merasa heran dengan kelakuan putrinya itu. Ia juga malu kepada raja-raja sekitarnya serta khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang disembunyikan putrinya.

Karena penolakan tersebut selalu terjadi berulang-ulang, baginda pun bermusyawarah dengan permaisuri. Mencari tahu apa yang membuat sang putri menolak setiap lamaran pemuda yang ingin menjadikannya sebagai istri. Akhirnya, sepakatlah mereka berdua untuk memanggil sang putri dan menanyakan langsung kepadanya.

Pada satu saat permasisuri pun memiliki kesempatan yang tepat untuk memanggil putrinya dan menanyakan latar belakang tingkah lakunya. “Anakku yang cantik, mengapa selama ini ananda selalu menolak lamaran yang datang?” tanya sang permaisuri.

Ditanya demikian sang putri sempat terdiam sesaat. Akhirnya dengan berat hati, sedih bercampur malu sang putri pun menerangkan sikapnya. ”Bukanlah ananda tidak mau menerima lamaran itu. Tapi, merasa malu dengan penyakit yang sedang ananda derita ini,” jawab sang Putri. “Penyakit apakah yang sedang Ananda derita?” tanya sang Permaisuri lagi.

Ditanya demikian sang putri kembali terdiam. Dia tak berani menatap ibunya. Sang Permaisuri pun segera mendekati sang Putri dan memeluk putri kesayangannya itu. Dalam pelukan permaisuri, sambil terisak, sang Putri pun menceritakan ihwal penyakit yang sedang ia derita. Ia menderita penyakit kelamin.

Mendengar jawaban itu, permaisuri pun mengerti dan merasa sedih dengan nasib putrinya itu dan menyampaikannya kepada baginda. Mendengar berita itu baginda sangat bingung. Ia tak tahu harus berbuat apa. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk membuat sayembara. Dipanggilnya hulubalang istana.

“Hai hulubalang, buatlah sebuah pengumuman ke seluruh negeri ini. Barang siapa dapat menyembuhkan sang putri, sebagai hadiah akan dinikahkan dengan putriku,” perintah baginda.

Disebarkanlah pengumuman itu ke seluruh negeri. Banyak orang yang datang untuk mencoba menyembuhkan sang putri. Namun, setelah berbagai ikhtiar dilakukan, tak satu pun yang berhasil. Putuslah harapan baginda terhadap kesembuhan putrinya. Karena tak berhasil, baginda pun memilih menempuh jalan lain. Mengasingkan sang putri ke sebuah semenanjung, di sebelah utara Pulau Bali.

Setelah segala sesuatu disiapkan, diantar baginda dan permaisuri beserta pembantu-pembantu istana yang telah ditentukan, sang putri berangkat ke tempat pengasingannya. Sesampai di tempat yang dituju, di tengah hutan, sang putri ditinggal sendiri. Kemudian, setelah memohon kepada dewata bagi perlindungan anaknya, dengan sedih baginda pun meninggalkan tempat tersebut.

Sebetulnya di hutan itu sang putri tak sendiri. Ia ditemani seekor anjing, bernama Tumang. Sesekali waktu datang beberapa orang pembantu istana datang melihat keadaannya sambil membawakan segala keperluan hidup.

Suatu hari, ketika sang putri sedang buang air kecil, dilihat oleh Tumang, anjing peliharaannya itu. Lalu, Tumang pun menjilati air kencing sang putri, juga sisa-sisa air kencing yang melekat di kemaluan sang putri. Sang putri pun membiarkannya. Kejadian seperti itu berlangsung hampir setiap kali sang putri kencing dan cukup lama. Satu keanehan terjadi. Penyakit yang diderita sang putri berangsur sembuh.

Sudah menjadi hukum alam bahwa, manusia adalah makhluk yang lemah. Begitu juga dengan sang putri. Sebagai seorang gadis remaja, ia juga mendambakan kehangatan kasih mesra seorang kekasih. Karena tanpa pengawasan, ditambah lagi asmara yang sedang menggelora, maka perbuatan dengan anjingnya itu berubah sebagai pelampiasan nafsunya yang sedang menggelora. Hari berganti pekan, pekan berganti bulan, kebiasaan sang putri berujung menjadi hubungan kelamin antara kedua makhluk berlainan jenis dan keturunan itu, hingga akhirnya sang putri pun mengandung.

Ketika rombongan dari istana datang meninjau, kelihatanlah bahwa keadaan putri telah berubah dari biasanya. Melihat keadaan itu, pemimpin rombongan menanyakan kejadian sebenarnya yang dialami sang putri. Setelah didesak, sang putri pun berterus terang dan menceritakan apa yang telah dilakukannya dengan si Tumang.

Begitu kembali ke istana, kabar buruk itu pun langsung disampaikan pemimpin rombongan kepada baginda dan permaisuri. Begitu mendengar kabar tersebut, bukan main murkanya baginda. Ingin rasanya ia segera menyudahi putrinya itu.

Setelah beberapa hari berfikir, baginda mendapat cara untuk menyelesaikan persoalan yang menimpa putrinya tersebut. Pada suatu malam, baginda mensucikan diri dan memohon kepada dewata agar putrinya dihukum dengan jalan menghancurkan tempat yang dihuni putrinya berhubung tempat tersebut telah menjadi kotor, sehingga akan mencemarkan nama baik baginda.

Dengan kehendak dewata, beberapa hari kemudian turun hujan sangat deras disertai angin ribut yang sangat besar. Sekejap kemudian putuslah bagian semenanjung utara Pulau Bali yang ditempati sang putri diasingkan, lalu hanyut terapung-apung dibawa gelombang ke utara.

***

ADALAH Datu’ Malim Angin dan Datu’ Langgar Tuban, yang sedang memancing ikan menggunakan perahu sampan. Tengah asyik memancing, mereka berdua dikejutkan pemandangan aneh. Tak jauh dari tempat mereka memancing nampak sebuah pulau hanyut melintas terbawa arus laut.

Dalam keheranan, Datu’ Malim Angin segera mengayuh sampannya dan mengejar pulau hanyut tersebut. Begitu berhasil mencapai salah satu bagian pulau tersebut, Datu’ Malim Angin segera naik ke daratan dan mengikatkan tali sauh pada potongan sebatang pohon (konon kabarnya pohon mali berduri, red.). Setelah mengikatkan tali sauh di potongan pohon tersebut, Datu’ Malim Angin segera menancapkannya pada sebuah gunung dan melemparkan jangkarnya ke laut. Seketika pulau hanyut itu pun berhenti. Namun, karena baru terikat pada satu tiang, pulau itu terus berputar.

Melihat pulau tersebut masih terus berputar-putar, Datu’ Malim Angin pun berlari ke arah berlawan dari kayu pertama tadi. Pada sebuah gunung Datu’ Malim Angin berhenti dan mematahkan sebatang pohon baru’ (pohon waru, red.), lalu menancapkannya pada puncak gunung dimana ia tadi berhenti. Setelah itu barulah pulau hanyut tersebut berhenti berputar.

Secara turun temurun cerita pulau Bali yang Terpotong ini berkembang secara lisan di masyarakat. Lama kelamaan penyebutannya berubah menjadi Belitong.

Konon, gunung tempat pertama Datu’ Malim Angin menambatkan tali sauhnya dikenal dengan Gunung Baginde, terletak di Kampung Padang Kandis, Membalong. Gunung ini, oleh mereka yang percaya, dikenal sebagai pancang Selatan Pulau Belitung. Dan, juga menurut mereka yang percaya, sampai sekarang Datu’ Malim Angin masih ‘mendiami’ / menguasai gunung tersebut. Sedang gunung kedua, adalah Gunung Burung Mandi.


Labels: Bangka Belitung, Folk Tales
Puteri Junjung Buih


Tersebutlah kisah sebuah kerajaan bernama Amuntai di Kalimantan Selatan. Kerajaan itu diperintah oleh dua bersaudara. Raja yang lebih tua bernama Patmaraga, atau diberi julukan Raja Tua. Adiknya si Raja muda bernama Sukmaraga. Kedua raja tersebut belum mempunyai putera ataupun puteri.

Namun diantara keduanya, Sukmaraga yang berkeinginan besar untuk mempunyai putera. Setiap malam ia dan permaisurinya memohon kepada para dewa agar dikarunia sepasang putera kembar. Keinginan tersebut rupanya akan dikabulkan oleh para dewa. Ia mendapat petunjuk untuk pergi bertapa ke sebuah pulau di dekat kota Banjarmasin. Di dalam pertapaannya, ia mendapat wangsit agar meminta istrinya menyantap bunga Kastuba. Sukmaraga pun mengikuti perintah itu. Benar seperti petunjuk para dewa, beberapa bulan kemudian permaisurinya hamil. Ia melahirkan sepasang bayi kembar yang sangat elok wajahnya.

Mendengar hal tersebut, timbul keinginan Raja Tua untuk mempunyai putera pula. Kemudian ia pun memohon kepada para dewa agar dikarunia putera. Raja Tua bermimpi disuruh dewa bertapa di Candi Agung, yang terletak di luar kota Amuntai. Raja Tua pun mengikuti petunjuk itu. Ketika selesai menjalankan pertapaan, dalam perjalanan pulang ia menemukan sorang bayi perempuan sedang terapung-apung di sebuah sungai. Bayi tersebut terapung-apung diatas segumpalan buih. Oleh karena itu, bayi yang sangat elok itu kelak bergelar Puteri Junjung Buih.

Raja Tua lalu memerintahkan pengetua istana, Datuk Pujung, untuk mengambil bayi tersebut. Namun alangkah terkejutnya rombongan kerajaan tersebut, karena bayi itu sudah dapat berbicara. Sebelum diangkat dari buih-buih itu, bayi tersebut meminta untuk ditenunkan selembar kain dan sehelai selimut yang harus diselesaikan dalam waktu setengah hari. Ia juga meminta untuk dijemput dengan empat puluh orang wanita cantik.

Raja Tuapun lalu menyayembarakan permintaan bayi tersebut. Ia berjanji untuk mengangkat orang yang dapat memenuhi permintaan bayi tersebut menjadi pengasuh dari puteri ini. Sayembara itu akhirnya dimenangkan oleh seorang wanita bernama Ratu Kuripan. Selain pandai menenun, iapun memiliki kekuatan gaib. Bukan hanya ia dapat memenuhi persyaratan waktu yang singkat itu, Ratu Kuripan pun menyelesaikan pekerjaannya dengan sangat mengagumkan. Kain dan selimut yang ditenunnnya sangatlah indah. Seperti yang dijanjikan, kemudian Raja Tua mengangkat Ratu Kuripan menjadi pengasuh si puteri Junjung Buih. Ia ikut berperanan besar dalam hampir setiap keputusan penting menyangkut sang puteri.



Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales, Kalimantan Selatan
Asal mula Danau Laut Tawar

Alkisah dulu di Takengon pernah ada sebuah kerajaan, tdk diketahui secara jelas apa nm kerajaannya tapi yg pasti dikerajaan itu ada seorang putri yg bernama Putri Pukes.

Putri Pukes mencintai seorang pria dari kerajaan lain tapi hubungan mereka tdk disetujui oleh orang tua Putri Pukes. Tapi sang putri tetap teguh dgn keinginannya sehingga akhirnya terjadilah pernikahan.

Saat Putri Pukes akan pergi menuju kerajaan suaminya, orang tua yg dari awal hubungan mrk tdk setuju berpesan…"Jika kau sudah pergi meninggalkan kerajaan ini janganlah sekalipun engkau palingkan wajahmu ke belakang "

Sang putri yang saat itu bimbang antara sayang dgn org tuanya serta cinta pada suaminya ternyata tdk dpt menahan kesedihan akibat kehilangan itu . Serta merta saat perjalanan yang dikawal oleh bbrp prajurit itu sang putri tdk sadar memalingkan wajahnya ke belakang…tiba2 bersamaan dgn itu datanglah petir yg diiringi dgn hujan lebat.

Para

pengawal menganjurkan kepada putri utk berteduh di sebuah gua yang tdk jauh dr tempat mereka.

Setelah berteduh dan mrk akan melanjutkan perjalanan, para pengawalpun memanggil putri yg berdiri disudut sendirian. Tapi dipanggil berkali2 sang putri tdk menyahut, ternyata setelah didatangi badan sang putri sudah mengeras seperti batu.

Sampai sekarang patung membatu sang putri sudah membesar dibagian bawahnya, tapi msh jelas bentuk sanggul dan perawakan yg mungil dari sang putri. Bagian bawah badannya yg besar katanya diakibatkan air matanya yg sampai skrg kadang2 msh jatuh. Kata sang penjaga jika org yg mengunjungi dan mengetahui kisah putri trus merasa sedih patung sang putri bisa saja tiba2 ikut mengeluarkan air matanya.

Disana juga ada lubang tempat suami sang putri lari, yg ktnya sampai sekarang arwahnya msh sering menjaga sang putri…begitulah kt sang penjaga.

Akibat hujan deras tadi terjadilah Danau Laut Tawar yang sampai sekarang byk dikunjungi oleh orang.



Labels: Aceh, Cerita Rakyat, Folk Tales, Legenda
Asal Mula Tambora

ASAL mula nama Gunung Tambora menurut cerita turun temurun ada dua versi, yaitu: Pertama, berasal dari kata lakambore dari bahasa Bima yang berarti mau ke mana, untuk menanyakan tujuan bepergian kepada seseorang. Kedua, dari kata ta dan mbora, dari bahasa Bima, kata "ta" yang berarti mengajak, dan kata "mbora" yang berarti menghilang, sehingga arti kata Tambora secara keseluruhan yaitu mengajak menghilang.

Ini berasal dari cerita turun temurun, dahulu ada seseorang sakti yang pertama kali ke gunung tersebut (sekarang Gunung Tambora), bertapa dan tidak diketemukan lagi karena telah menghilang di gunung tersebut. Kalau istilah bahasa Jawa-nya moksa, yaitu menghilang jasadnya secara tiba-tiba dan bisa dilihat oleh orang-orang tertentu yang mempunyai kemampuan dalam melihat roh halus. Kemudian orang sakti yang menghilang tersebut pernah menampakkan diri di sebuah pulau yang terletak di sebelah barat laut Pulau Sumbawa juga dapat terlihat dari puncak Gunung Tambora. Maka pulau tersebut dinamai Pulau Satonda dari kata tonda yang berarti tanda/jejak kaki. Pulau tersebut dapat dilihat dari puncak Gunung Tambora, tampak dari atas berbentuk telapak kaki kanan manusia. Pulau Satonda sangat indah dengan pemandangannya yang masih alami, di tengah-tengah pulau tersebut terdapat danau yang jernih dan dikelilingi oleh tebing-tebing dari perbukitan yang masih alami. Diduga danau di Pulau Satonda tersebut mempunyai terowongan dari gua bawah laut menyambung dengan laut. Pulau Satonda dengan ketinggian antara 0 sampai 300 mdpl merupakan taman rekreasi (recreation park) dengan wilayah seluas 1.000 Ha mempunyai ciri-cirinya yang unik.

Sekarang pulau tersebut telah menjadi kawasan yang dilindungi (strict nature reserve). Pulau Satonda sangat baik untuk menjadi tempat untuk mempelajari hutan, karena hutan di pulau tersebut hancur akibat letusan Gunung Tambora pada tahun 1815. Juga banyak ditemukan jenis-jenis ikan yang baru dan hanya ditemukan di Danau Satonda saja. Pulau tersebut menjadi habitat sejumlah besar jenis-jenis burung yang dilindungi. Kesemua keindahan alam yang menjadi satu kesatuan menciptakan suatu fenomena indah, unik.

Pesona alam di Gunung Tambora makin menambah keelokan panorama alam Indonesia. Kita semua wajib untuk mengenali dan melestarikannya. Alam Indonesia menjadi obyek penelitian yang sangat menarik oleh para ilmuwan.

Bernice De Jong Boers, ilmuwan asal Denmark dalam makalah revisinya bertajuk "Mount Tambora in 1815: “A Volcanic Eruption in Indonesia and Its Aftermath" menggambarkan, Pulau Sumbawa sebelum meletusnya Gunung Tambora sebetulnya dalam keadaan cukup baik secara ekonomi. Jauh sebelumnya, di Sumbawa jauh lebih lebat hutannya. Ketika orang pertama datang, sebagian dari hutan ditebang untuk berladang.

Sekitar tahun 1400, orang- orang Jawa memperkenalkan cara bertanam padi di sawah dan mulai mengimpor kuda. Semakin lama jumlah penduduk berkembang. Orang mengandalkan hidup terutama dari beras, kacang hijau, dan kuda. Sementara dari perkebunan orang mengandalkan kopi, lada, dan kapas yang bisa tumbuh subur.

Di kawasan itu telah terdapat pula hubungan dagang. Pada masa itu Kerajaan Bima umumnya terbuka dari dunia luar. Dari segi ekonomi, perniagaan merupakan penghasilan utama dengan komoditas ekspor utama sebelum 1815 ialah beras, madu, kapas, dan kayu merah.

Setelah Tambora meletus, kesejahteraan yang terbangun itu runtuh. Saat itu terdapat enam kerajaan kecil di Pulau Sumbawa. Syair Kerajaan Bima menyebutkan dua kerajaan punah terkubur, yakni Pekat dan Tambora. Jauh setelah kejadian, muncul berbagai spekulasi bahwa terdapat istana kerajaan yang terpendam dengan beragam kekayaan. Apalagi dari penggalian yang dilakukan Sigurdsson dari Universitas Rhode Island, AS, dan tim dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi sempat ditemukan keramik-keramik yang diperkirakan bermotif Vietnam. Muncul pula dugaan hidupnya orang-orang berbahasa Mon-Khmer, bahasa yang tidak lazim dituturkan di Nusantara.

Asumsi-asumsi tersebut diragukan Bambang Budi Utomo, arkeolog dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, yang sempat mengunjungi lokasi penggalian Sigurdsson. "Istilah kerajaan di luar Pulau Jawa tidak dapat disamakan dengan kerajaan besar di Jawa yang kaya raya. Jadi, jangan dibayangkan istana kerajaan seperti istana raja-raja di Jawa. Selain itu, temuan keramik yang mempunyai kesamaan dengan tembikar dari kawasan Indocina bukan berarti menandakan hidup populasi pendukung budaya Khmer. Tembikar itu sepertinya buatan China dan dapat saja sampai di Tambora karena adanya perdagangan," kata Bambang. Dia menyayangkan penelitian tersebut tidak melibatkan para arkeolog.

Setelah letusan, keadaan di sekitar Tambora—terutama di Bima—pun berbalik. Tanah yang tak dapat ditanami selama lima tahun membuat kelaparan dan kemelaratan berkepanjangan.

Kini, berjalan di lereng Tambora, tentu berbeda suasananya. Rumput tebal mengisi permukaan tanah, yang hampir dua abad lalu berselimut abu vulkanik. Lereng gunung itu menghijau, dengan hutan serta semak yang rimbun. Tanah telah kembali memberi berkah. Sebagian besar penduduk di lereng Tambora hidup dari pertanian dan perkebunan. Ada pula yang menjadi pemandu naik gunung.

Sumber :
http://nendhen.blog.friendster.com/2007/12/asal-mula-tambora/



Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales, Legenda, Nusa Tenggara Barat