Rabu, 21 Desember 2011


Sekolah Aneh, Guru Lebih Banyak dari MuridSekolah Aneh, Guru Lebih Banyak dari Murid

Sumbawa Besar, PSnews -
Aneh tapi nyata. Jika sekolah lain kekurangan guru, maka berbeda halnya dengan SMPN 5 SATAP Uma Buntar.
Sekolah ini justru memiliki guru lebih banyak dibanding siswanya.
Konidisi ironi ini diadukan warga Uma Buntar,  Zulkarnaen pada Komisi IV DPRD Kabupaten Sumbawa .
“SMPN 5 SATAP memiliki guru sebanyak 25 orang, sementara siswanya hanya 19 orang,” ungkap Zulkarnaen.
Bahkan untuk membayar insentif Guru Tidak Tetap (GTT) 100 ribu setiap bulan,  Kepala Sekolah setempat menggunakan dana BOS.
Zulkarnaen menambahkan, sekolah itu tidak memiliki rencana kerja termasuk perbaikan komponen dan juga rencana kerja tahunan yang menjadi dasar pengelolaan sekolah.
Dalam membuat rencana kegiatan dan anggaran sekolah RAKS, sebenarnya dana BOS integral dalam RAKS sesuai permen Diknas 37 tahun 2010.
Di samping itu, ada beberapa mata pelajaran seperti bahasa inggris diajarkan oleh dua orang guru. Sehingga guru mata pelajaran kesulitan mengukur standar penyampaian antara masing-masing guru.
Parahnya lagi, papar Zulkarnaen, oknum kepala sekolah setempat juga jarang hadir di sekolah lantaran sibuk mengurus busnya.
Kebijakan unik lainnya yang dilakukan kepala sekolah, ungkap Zulkarnaen,  yakni saat pembagian raport.
Penyerahan nilai siswa oleh guru, bersamaan dengan pembagian raport.
Menanggapi laporan warga, Kabid Dikdas Diknas Sumbawa, A Rahman, SPd menyatakan, pihaknya bersama tim akan turun ke lokasi guna meminta keterangan dari pihak terkait.
Rahman menjelaskan, jumlah guru yang wajib dimiliki SMP SATAP maksimal 6 orang dan seandainya kurang dapat diambil dari guru SD SATAP.
Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Sumbawa, Sambirang Ahmadi mengungkapkan, kejadian seperti ini banyak terjadi di Sumbawa khususnya di daerah terisolir.
Untuk itu masyarakat diminta untuk berperan aktif mengontrol setiap masalah yang ada, seperti penggunaan dana BOS, tenaga pendidik dan lainnya.
Aneh tapi nyata. Jika sekolah lain kekurangan guru, maka berbeda halnya dengan SMPN 5 SATAP Uma Buntar.
Sekolah ini justru memiliki guru lebih banyak dibanding siswanya.
Konidisi ironi ini diadukan warga Uma Buntar,  Zulkarnaen pada Komisi IV DPRD Kabupaten Sumbawa .
“SMPN 5 SATAP memiliki guru sebanyak 25 orang, sementara siswanya hanya 19 orang,” ungkap Zulkarnaen.
Bahkan untuk membayar insentif Guru Tidak Tetap (GTT) 100 ribu setiap bulan,  Kepala Sekolah setempat menggunakan dana BOS.
Zulkarnaen menambahkan, sekolah itu tidak memiliki rencana kerja termasuk perbaikan komponen dan juga rencana kerja tahunan yang menjadi dasar pengelolaan sekolah.
Dalam membuat rencana kegiatan dan anggaran sekolah RAKS, sebenarnya dana BOS integral dalam RAKS sesuai permen Diknas 37 tahun 2010.
Di samping itu, ada beberapa mata pelajaran seperti bahasa inggris diajarkan oleh dua orang guru. Sehingga guru mata pelajaran kesulitan mengukur standar penyampaian antara masing-masing guru.
Parahnya lagi, papar Zulkarnaen, oknum kepala sekolah setempat juga jarang hadir di sekolah lantaran sibuk mengurus busnya.
Kebijakan unik lainnya yang dilakukan kepala sekolah, ungkap Zulkarnaen,  yakni saat pembagian raport.
Penyerahan nilai siswa oleh guru, bersamaan dengan pembagian raport.
Menanggapi laporan warga, Kabid Dikdas Diknas Sumbawa, A Rahman, SPd menyatakan, pihaknya bersama tim akan turun ke lokasi guna meminta keterangan dari pihak terkait.
Rahman menjelaskan, jumlah guru yang wajib dimiliki SMP SATAP maksimal 6 orang dan seandainya kurang dapat diambil dari guru SD SATAP.
Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Sumbawa, Sambirang Ahmadi mengungkapkan, kejadian seperti ini banyak terjadi di Sumbawa khususnya di daerah terisolir.
Untuk itu masyarakat diminta untuk berperan aktif mengontrol setiap masalah yang ada, seperti penggunaan dana BOS, tenaga pendidik dan lainnya.

Jumat, 07 Oktober 2011

Si Dayang Bandir


Dahulu di propinsi Sumatera Utara terdapat dua kerajaan. Kerajaan itu dikenal dengan nama Kerajaan Timur dan Kerajaan Barat. Pada suatu ketika, raja yang berkuasa di Kerajaan Timur menikah dengan adik perempuan dari raja yang berkuasa di Kerajaan Barat. Beberapa tahun kemudian lahir seorang bayi perempuan yang diberi nama ‘Si Dayang Bandir’, tujuh tahun kemudian lahir seorang anak laki-laki yang bernama Sandean Raja. Ketika masih kecil, ayah Si Dayang Bandir dan Sandean Raja meninggal dunia.

Dengan meninggalnya raja di Kerajaan Timur, maka tahta Kerajaan Timur menjadi kosong. Berhubung Sandean Raja masih kecil dan belum bisa menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja, maka dalam sidang istana kerajaan menunjuk Paman Kareang untuk mengendalikan pemerintahan kerajaan. Si Dayang Bandir mempunyai akal untuk menyelamatkan benda-benda pusaka agar jangan sampai jatuh ke tangan pamannya yang hanya menggantikan pemerintahan sementara. “Hmm.. benda-benda pusaka ini haurs kuselamatkan agar jangan sampai jatuh di tangan pamanku, kelak adik Sandean Raja lah yang berhak atas benda-benda pusaka ini,” gumam Si Dayang Bandir.

Tidak berapa lama, Paman Kareang mengetahui benda-benda pusaka peninggalan raja telah disimpan Si Dayang Bandir. Ia mendesak Si Dayang Bandir agar menyerahkan benda-benda itu. “Awas! Kalau benda-benda itu tidak diserahkan padaku, keselamatanmu akan terancam!” Itulah ancaman Paman Kareang kepada Si Dayang Bandir. Namun Si Dayang Bandir tetap tidak mau menyerahkan benda-benda pusaka itu.

Kekesalan Paman Kareang menyebabkan Si Dayang Bandir dan Sandean Raja dibuang ke hutan. Sesampainya di hutan, Paman Kareang mengikat Si Dayang Bandir di atas sebatang pohon sehingga tidak dapat dijangkau adiknya, Sandean Raja. Sandean Raja menangis tak henti-henti sampai kehabisan air mata. Sandean Raja mencoba membebaskan kakaknya. Tapi ia tidak berhasil memanjat pohon tersebut, setiap mencoba ia pun jatuh. Tubuhnya menjadi tergores dan luka-luka. “Biarlah kekejaman paman ini kutanggung sendiri,” kata Si Dayang Bandir lemah. “Bila kau lapar, makanlah pucuk-pucuk daun yang berada di sekitarmu,” ucap Si Dayang Bandir, kepada adiknya yang kelaparan.

Setelah beberapa hari terikat di batang pohon, akhirnya Si Dayang Bandir tampak mulai lemas dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir. “Begitu kejam pamanku!” umpat Sandean Raja. Ia pun hidup seorang diri di hutan selama beberapa tahun hingga ia menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Selama di hutan, ia selalu ditemani roh Si Dayang Bandir. “Ku harap kau segera menghadap Raja Sorma,” bisik halus Roh Si Dayang Bandir, kepada Sandean Raja. Raja Sorma adalah adik kandung dari Ibu Sandean Raja. Raja Sorma tidak kejam seperti Paman Kareang yang saat ini sudah menjadi raja di Kerajaan Timur.

Sandean Raja berhasil keluar dari hutan dan segera menuju ke wilayah Kerajaan Barat untuk menghadap Raja Sorma. “Ampun Sri Baginda Raja Sorma. Hamba adalah Sandean Raja. Putra Mahkota Kerajaan Timur,” kata Sandean Raja. Raja Sorma sangat terkejut dengan ucapan Sandean Raja karena ia mendengar bahwa Sandean Raja dan Si Dayang Bandir telah meninggal dunia. Untuk membuktikan bahwa Sandean Raja benar-benar keponakannya, Sandean Raja diuji memindahkan sebatang pohon hidup dari hutan ke Istana. Ujian selanjutnya, Sandean Raja diharuskan menebas sebidang hutan untuk dijadikan perladangan. Pekerjaan itu diselesaikan Sandean Raja dengan baik. Selanjutnya, Sandean Raja diperintahkan untuk membangun istana besar yang disebut “Rumah Bolon” dan ternyata berhasil dan selesai dalam waktu tiga hari.

Raja Sorma belum mau mengakui Sandean Raja sebagai keponakannya sebelum menempuh ujian terakhir. Yaitu, menunjuk seorang puteri raja di antara puluhan gadis di sebuah ruang yang gelap gulita. Sandean Raja merasa khawatir kalau ujian yang terakhir ini ia tidak berhasil. “Jangan khawatir, aku akan membantumu,” bisik roh Si Dayang Bandir. Akhirnya Sandean Raja berhasil memegang kepala puteri raja yang sedang bersimpuh. Atas keberhasilannya, Sandean Raja diakui sebagai keponakan Raja Sorma dan dinikahkan dengan puterinya. Setahun kemudian, Sandean Raja bersama prajurit Kerajaan Barat menyerang Kerajaan Timur yang dikuasai oleh paman Raja Kareang. Dalam waktu yang tidak lama, Kerajaan Timur berhasil ditaklukkan dan Raja Kareang terbunuh oleh Sandean Raja. Kerajaan Timur akhirnya di kuasai oleh Sandean Raja. Dan akhirnya Sandean Raja dinobatkan menjadi raja Kerajaan Timur dan hidup bahagia bersama istri dan rakyatnya.

Moral :
Untuk membuktikan kebenaran diperlukan ujian yang keras. Hanya orang-orang yang bersemangat, sabar dan besar hatilah yang dapat melewati ujian seberat apapun.

Sumber : Elexmedia



Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales, Sumatera Utara
Pulau Mas

Ringkasan Cerita
Alkisah ketika Raden Wiralodra akan membuka hutan Indramayu untuk dijadikan pemukiman atau pedukuhan. Namun, usaha itu banyak mengalami halangan dan rintangan yang mengganggu rencananya. Salah satu kendala yang sangat berat adalah ia harus berhadapan dengan jin penguasa hutan Indramayu.

Jin itu akan membinasakan setiap orang yang mencoba mengusik kekuasaannya. Begitu pula saat ada Raden Wiralodra yang sedang membabat hutan Indramayu untuk dijadikan tempat tinggal, maka dengan serta merta si jin marah dan menghalau rencana Raden Wiralodra.

Akibatnya, pertempuran pun tidak dapat dielakkan. Raden Wiralodra yang gagah perkasa berhadapan dengan makhluk jin yang terkenal sangat sakti. Keduanya mengeluarkan semua ilmu kedigjayaan.

Tidak diketahui berapa lamanya pertempuran itu terjadi, namun kuasa Tuhan menentukan bahwa manusialah yang harus menang. Raden Wiralodra berhasil mengalahkan jin. Setelah jin itu takluk, ia mohon kepada Raden Wiralodra agar diberi kebebasan untuk hidup di sebuah pulau. Di sana ia tidak akan mengganggu manusia lagi, terutama keturunan Raden Wiralodra.

Pendek kata, Raden Wiralodra mengizinkan keinginan makhluk jin tadi. Maka pergilah jin itu menuju ke sebuah pulau. Ia menetap di pulau itu sampai kini. Masyarakat sekitar pulau tersebut, jika malam hari sering melihat pulau tersebut bercahaya kekuningan seperti sinar emas, maka disebutlah Pulau Mas.

Sumber:
Purnama, Yuzar, dkk,. 2004. Budaya Tradisional pada Masyarakat Indramayu. Bandung: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

http://uun-halimah.blogspot.com/search/label/cerita%20rakyat?updated-max=2008-06-14T12%3A45%3A00-07%3A00&max-results=20




Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales, Jawa Barat
Buaya, Kerbau dan Pelanduk

Pada suatu ketika ada seekor buaya yang ingin berkubang di sebuah sungai. Namun, karena sinar matahari demikian teriknya dan jarak antara sarangnya dengan sungai tersebut agak jauh, maka buaya itu hanya menunggu saja kalau-kalau ada binatang lain yang bersedia menolongnya. Kebetulan waktu itu ada seekor kerbau yang hendak minum di sungai. Buaya itu pun merasa gembira, dan segera berseru pada kerbau, “Hei kerbau, maukah engkau menolongku?”

“Apa yang bisa kulakukan untukmu, hai buaya?” tanya kerbau.

“Maukah engkau membawaku hingga ke tepi sungai itu?” kata buaya.

“Ya, baiklah. Sekarang naiklah ke punggungku!” jawab kerbau.

Setelah berkata begitu, tanpa membuang waktu lagi, naiklah buaya itu ke punggung kerbau. Si kerbau pun lalu berjalan menuju sungai.

Saat berada di tepi sungai, si kerbau berkata, “Turunlah hei buaya, kita sudah sampai di tepi sungai!”

Menyahut si buaya: “Sebentar lagi. Turunkan saya dalam air.”

Kerbau pun menuruti perintah buaya. Pada waktu air sampai lutut ia berkata: “Turunlah dari punggungku hei buaya!”

Si buaya menjawab lagi, “Sebentar lagi. Agak maju sedikit lagi.”

Kerbau pun menuruti lagi perintah buaya. Pada waktu sampai di tempat yang paling dalam, buaya segera melompat dan berkata, “Sekarang aku akan memakanmu hei kerbau, sebab sudah sekian lama aku tidak makan.”

Menyahutlah si kerbau, “Nanti dulu! Adakah kebaikan dibalas dengan kejahatan?”

“Tidak usah berpanjang lebar ceritamu! Aku sudah sangat lapar dan akan memakan engkau sekarang,” kata si buaya.

Kerbau menjawab, “Tunggu dulu! Ada bakul bekas hanyut kemari. Biar kutanyai dahulu dia.” Ditanyailah bakul itu oleh kerbau: “Eh bakul, adakah kebaikan dibalas dengan kejahatan?”

Dijawab oleh bakul, “Lihatlah diriku! Waktu masih dipergunakan orang, aku selalu dipelihara. Sekarang, setelah usang dan tidak berguna lagi, aku pun dibuang begitu saja.”

Berkatalah si buaya, “Dengarkanlah kata si bakul itu wahai kerbau!”

Si kerbau berkata, “Tunggulah dahulu! Masih ada nyiru bekas hanyut kemari.” Ditanyai lagi nyiru itu oleh si Kerbau: “Eh, nyiru, adakah kebaikan dibalas dengan kejahatan?”

Dijawab oleh nyiru itu, “Tidak usah dicari, begitulah keadaan di dunia. Kebaikan biasa dibalas dengan kejahatan. Lihatlah saya, waktu masih dipakai, orang selalu memeliharaku. Setelah aku usang, aku pun dibuangnya.”

Buaya berkata lagi, “Engkau sudah mendengar jawaban si bakul dan si nyiru itu, bukan? Nah, jadi sekarang aku mau memakan engkau!”

Kerbau menjawab, “Tunggu dulu. Aku melihat ada binatang di pinggir sungai, akan kutanyai dia.”

Binatang yang ada di pinggir sungai itu kebetulan adalah si pelanduk. “Hai pelanduk adakah kebaikan dibalas dengan kejahatan?” tanya kerbau.

Jawab pelanduk, “Apa yang kau katakan? Mendekatlah kemari, aku tidak mendengarnya!”

Kerbau pun maju sampai ke tempat yang agak dangkal airnya dan berkata lagi: “Adakah kebaikan dibalas dengan kejahatan?”

“Tidak jelas, aku agak tuli, naik ke darat!” jawab pelanduk.

Waktu kerbau naik ke darat, lalu sang Pelanduk berkata, “Larilah, tidak ada lagi kekuatan si buaya kalau di darat. Ia berkuasa hanya kalau berada di dalam air.”

Melihat kerbau berhasil melarikan diri, kemarahan buaya berpindah kepada si pelanduk. Berkatalah si buaya, “Awas engkau planduk! Di manapun engkau kujumpai, akan aku makan engkau!”

Keesokan harinya, si buaya sudah menunggu di tepi sungai tempat si pelanduk biasanya turun minum. Namun, hingga sore hari ternyata si pelanduk tidak juga datang. Akhirnya si buaya memutuskan untuk kembali ke tengah sungai dan esok paginya akan menunggu di tempat itu lagi. Ia merasa yakin si pelanduk akan datang, sebab pelanduk pasti membutuhkan air untuk minum.

Hari berikutnya, walaupun ditunggu hingga malam hari, ternyata si pelanduk tetap tidak datang. Begitu pula hari berikutnya, si pelanduk tetap tidak menunjukkan batang hidungnya.

Setelah menunggu tiga hari berturut-turut namun tidak juga berhasil mendapatkan si pelanduk, akhirnya si buaya pun naik ke darat untuk mencari rumah si pelanduk. Setelah berada di dekat rumah si pelanduk, si buaya mendapati sebuah sumur yang baru selesai di buat. Buaya itu terus masuk ke dalam sumur. Ia merasa yakin, cepat atau lambat si pelanduk pasti akan minum di sumur itu. Dan, pada saat minum itulah si pelanduk akan langsung diterkam dan dimakannya.

Pagi harinya, sewaktu si pelanduk akan pergi ke sumur untuk minum, ia melihat ada jejak kaki buaya. Sang pelanduk pun segera berteriak, “Kebiasaanku sebelum minum air sumur, aku selalu memanggil. Apabila sumur ada isinya selain air, ia tidak akan menyahut. Namun, apabila isinya hanya air, si sumur pasti menyahut.” Pelanduk pun memanggil sumurnya, “Oh, sumurku!”

Oleh karena panggilan itu tidak dijawab oleh buaya, maka si pelanduk berkata lagi, “Ah, ada isinya sumurku, aku khawatir kalau isinya adalah si buaya, kenapa tidak menyahut.” Sang Pelanduk kembali memanggil, “Oh sumurku!”

Menyahutlah si Buaya di dalam sumur, katanya, “Ya.”

Mendengar jawaban itu, larilah si pelanduk sambil berkata, “Ternyata engkau ada di situ wahai buaya!”

Si buaya yang merasa dipermainkan, semakin bertambah marah lalu keluar dari dalam sumur dan mengejar si pelanduk. Saat dikejar oleh buaya itu, si pelanduk berlari memasuki hutan dan duduk di dekat sarang semut merah. Setelah buaya berhasil mendekati dan akan menerkamnya, si pelanduk berkata, “Tunggu dulu hei buaya. Aku mendapat perintah dari raja hutan untuk menjaga baje ini. Nanti apabila ia telah pulang, akan dimakannya baje ini karena berkhasiat sebagai penghilang lelah.”

Berkatalah si Buaya, “Tolong berikan aku sedikit baje itu. Aku sudah sangat lelah karena mengejarmu.”

“Boleh, tetapi nanti kalau aku sudah jauh dari tempat ini, sebab kalau nanti diketahui oleh yang empunya baje, dia akan marah padaku.”

“Baiklah,” kata si buaya.

Setelah si pelanduk lari, buaya kemudian memakan sarang semut merah itu. Semut merah yang sarangnya diganggu menjadi sangat marah. Mereka secara beramai-ramai menggigit mulut dan tenggorokan buaya hingga menggeleng-geleng karena kesakitan. Semua binatang yang melihatnya tertawa, terutama si kerbau. Begitu kerasnya kerbau itu tertawa hingga gigi atasnya berjatuhan.

Buaya yang merasa ditipu lagi menjadi makin marah dan mengejar si pelanduk hingga ke tepi hutan. Di tempat itu ia melihat pelanduk sedang duduk di samping seekor ular sanca sebesar pohon kelapa yang sedang tidur melintang di tengah jalan. Saat buaya mendekat dan akan menerkamnya, si pelanduk berkata, “Tunggu dulu hei buaya. Saat ini aku sedang mendapat tugas yang sangat penting dan tidak ada yang boleh menghalang-halangiku.”

“Tugas apa itu?” tanya buaya.

“Engkau tidak melihat yang melintang di tengah jalan ini yang panjang dan berlurik-lurik? Itulah ikat pinggang raja dan aku disuruh menjaganya. Ikat pinggang itu luar biasa sebab tidak perlu kita memasangnya kalau hendak dipakai karena akan menggulung sendiri dan mempunyai khasiat dapat menghilangkan pegal-pegal di badan,” kata si pelanduk.

Berkatalah si buaya, “Bisakah aku meminjam ikat pinggang itu? Aku sudah sangat lelah karena mengejar engkau. Badanku sudah mulai pegal-pegal.”

“Boleh, tetapi nanti setelah aku masuk hutan. Jangan sampai raja tahu dan menghukumku karena telah meminjamkannya padamu,” kata si pelanduk.

“Ya, pergilah!” kata si buaya.

Setelah si pelanduk lari, si buaya lalu membaringkan dirinya di tengah-tengah badan ular sanca itu. Si ular yang kaget karena tubuhnya ditimpa oleh buaya langsung membelitnya sehingga buaya pun menggelepar-gelepar. Namun semakin ia menggeliat hendak melepaskan diri, makin menguat pula ikatan sang ular sanca itu. Akhirnya, si buaya pun mati karena tulang-tulangnya remuk oleh belitan ular sanca itu.

Sumber:
Rasyid, Abdul dan Muhammad Abidin Nur. 1999. Cerita Rakyat Daerah Wajo di Sulawesi Selatan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

http://uun-halimah.blogspot.com/search/label/cerita%20rakyat




Labels: Cerita Rakyat, Fabel, Folk Tales, Sulawesi Selatan
Orang Tua beristri Gadis Remaja

Alkisah, ada seorang lelaki tua kaya raya yang baru saja di tinggal mati oleh isterinya. Namun, walau telah berusia lanjut, apabila melihat perempuan muda gairahnya kembali bergejolak. Dan, dengan pengaruh kekayaannya itulah ia kemudian membujuk sebuah keluarga miskin untuk mengawinkan anak gadis mereka yang masih remaja dengan dirinya. Si gadis yang akan dikawin sebenarnya merasa muak melihat lelaki tua bangka itu. Namun, karena orang tuanya memaksa, maka ia pun akhirnya mau menerimanya.

Sesudah kawin, dan malam harinya hendak didekati oleh suaminya, perempuan muda itu berkata, “Aku akan izinkan engkau mendekat, jika engkau membelikan barang yang aku minta.”

Apabila keesokan harinya telah dibelikan dan pada malam harinya akan diajak tidur oleh suaminya, perempuan itu pun akan meminta suatu barang lagi. Dan, jika tidak diiyakan, suaminya tidak diizinkan masuk ke dalam kamar. Kalau pun diizinkan, si suami hanya boleh duduk di pinggir kasur saja. Begitulah seterusnya, si perempuan tetap menjadi gadis (perawan), namun telah memiliki pakaian, perhiasan, dan perabot rumah tangga yang sangat lengkap. Sebaliknya, sang suami semakin bertambah tua dan hartanya semakin terkuras.

Suatu hari, saat si perempuan akan pergi ke pekan, secara kebetulan ia melihat seorang pemuda yang gagah dan tampan lewat di depan rumahnya. Pemuda itu juga akan pergi ke pekan. Si perempuan dengan cepat keluar dari rumahnya dan mengikuti pemuda itu dari belakang.

Sesampainya di pekan, pandangan si perempuan tidak tertuju pada barang-barang yang diperjual-belikan, melainkan hanya pada si pemuda itu. Ke mana saja pemuda itu pergi, si perempuan selalu saja mengikutinya. Dan, pada saat berada di tengah keramaian, si perempuan pun dengan sengaja menyentuh lengan pemuda itu.

Oleh karena berada di tengah keramaian, dan tidak tahu siapa yang menyentuh siapa, maka si pemuda berkata pada perempuan itu, “Maaf, aku telah menyentuhmu.”

“Ah, tidak apa-apa. Jangan pergi ke pekan kalau tak mau bersentuh-sentuhan,” jawab si perempuan.

Setelah meminta maaf, si pemuda pergi lagi berkeliling untuk mencari barang yang dibutuhkannya. Sementara si perempuan tetap mengikutinya dari belakang. Dan, saat si pemuda telah berada di tengah keramaian lagi, si perempuan buru-buru menyentuh lengannya.

“Maaf, aku menyentuhmu lagi,” kata si pemuda

“Ah, tidak apa-apa,” jawab si perempuan.

Setelah itu, si pemuda meneruskan kembali pencariannya dan berhenti di depan warung yang menjual beraneka macam tembakau. Di tempat itu, ia mengambil dan mencoba beberapa jenis tembakau. Saat si pemuda tengah menikmati asap tembakau yang dipilihnya itu, si perempuan yang dari tadi mengikutinya dari belakang tiba-tiba berkata, “Pak penjual, tolong berikan saya satu linting tembakau seperti yang tengah dicoba oleh orang ini!”

Sesudah diberikan oleh si penjual dan sama-sama menikmati asap tembakau, perempuan itu lalu menanyakan kepada si pemuda, “Bagaimana rasanya tembakau yang kamu coba itu?”

“Aku rasa cukup baik, tembakau jenis inilah yang selalu aku beli,” jawab si pemuda.

Kemudian, berkatalah si perempuan pada penjual tembakau, “Kalau begitu, tolong bungkuskan sepotong tembakau seperti yang tengah aku hisap ini, pak.”

Tanpa berkata apa-apa, si penjual langsung membungkus sepotong tembakau dan akan diberikan kepada perempuan itu. Tetapi dengan cekatan, si pemudalah yang menyambutnya, kemudian dilanjutkan kepada si perempuan.

Saat ia menyodorkan uang, si pemuda segera mengatakan, “Tidak usah, aku saja nanti yang membayarnya.”

“Wah saya memberati sepupu,” si perempuan pun sudah mulai menyapa “sepupu”. “Singgah di rumah kalau engkau kebetulan lewat,” perempuan itu melanjutkan.

Si pemuda menjawab, “Baiklah, nanti lain waktu aku akan ke rumahmu”

Satu minggu kemudian, pada waktu hari pasaran berikutnya, si perempuan sengaja berdandan pagi-pagi dan kemudian duduk di jendela, menunggu si pemuda lewat. Tiada berapa lama, lewatlah si pemuda, lalu dipanggilnya, “Singgahlah sepupu, inilah rumah kami.”

Oleh karena rumah itu hanya memakai dinding sekat, suaminya menyahut dari dari ruang tamu, “Lelaki mana yang engkau panggil naik ke rumah?”

“Dia adalah sepupuku. Anak familiku yang tinggal di kampung sebelah,” jawab isterinya berbohong.

“Kalau begitu, suruhlah dia naik ke rumah,” kata suaminya.

Tanpa menghiraukan kata-kata suaminya, perempuan itu memanggil lagi si pemuda, “Singgahlah dahulu ke rumah kami, sepupu.”

“Ya, nanti sekembalinya aku dari pekan,” jawab si pemuda.

Setelah mendapat jawaban dari si pemuda, perempuan itu langsung ke dapur untuk menggoreng pisang dan merebus air. Dan, ketika pisang dan air telah matang, ia pun segera kembali duduk di jendela kamarnya, menunggu pemuda tadi lewat lagi di depan rumahnya.

Saat si perempuan melihat si pemuda telah kembali dari pekan, maka segera ia berteriak, “Hai sepupu, segeralah singgah ke rumah kami. Engkau sudah lama kami tunggu!”

Tanpa berkata-kata, si pemuda lalu membelok menuju rumah perempuan itu. Setelah sampai di muka rumah, ia kemudian dipersilakan duduk di serambi, sementara si perempuan segera masuk ke rumah untuk mengambil minum dan juga pisang goreng.

Pada waktu di dalam rumah, ia melihat suaminya sedang berpakaian untuk menyambut tamu yang tadi dikatakan sebagai sepupu dari isterinya. Ia kemudian menegur suaminya, “Tidak usahlah engkau keluar. Nanti sepupuku akan terkejut dan akan mengatakan kepada orang-orang di desanya bahwa suami sepupunya adalah seorang lelaki yang telah tua bangka. Lagi pula, engkau belum mandi. Di matamu itu masih ada kotoran yang meleleh.”

Teguran perempuan itu akhirnya membuat suaminya urung menyambut tamu yang sudah duduk di serambi rumah. Ia kemudian melepaskan lagi baju yang telah dikenakannya dan duduk di kursi yang ada di dalam kamar tidurnya.

Singkat cerita, si perempuan akhirnya dapat berbincang-bincang dengan si pemuda dengan leluasa. Sementara suaminya hanya duduk terpekur sambil merenungi nasibnya. Hartanya telah habis terkuras, namun belum sempat sekali pun ia berhasil menggauli isterinya. Bahkan, si isteri malah tertarik dengan lelaki lain yang jauh lebih muda dan tampan dari dirinya.

Sumber:
Rasyid, Abdul dan Muhammad Abidin Nur. 1999. Cerita Rakyat Daerah Wajo di Sulawesi Selatan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

http://uun-halimah.blogspot.com/search/label/cerita%20rakyat




Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales, Sulawesi Selatan
Asal Mula Singaraja

Dahulu kala di Pulau Bali, tepatnya di daerah Klungkung hiduplah seorang Raja yang bergelar Sri Sagening. Ia mempunyai istri yang cukup banyak. Istri yang terakhir bernama Ni Luh Pasek. Ni Luh Pasek berasal dari Desa Panji dan merupakan keturunan Kyai Pasek Gobleg. Namun malang nasib Ni Luh Pasek, sewaktu ia mengandung, ia dibuang secara halus dari istana, ia dikawinkan dengan Kyai Jelantik Bogol oleh suaminya.

Kesedihannya agak berkurang berkat kasih sayang Kyai Jelantik Bogol yang tulus. Setelah tiba waktunya ia melahirkan anak laki-laki yang dinamai I Gusti Gede Pasekan.

Bayi bernama I Gusti Gede Pasekan makin hari makin besar, setelah dewasa ia mempunyai wibawa besar di Kota Gelgel. Ia sangat dicintai oleh pemuka masyarakat dan masyarakat biasa.

Ia juga disayang oleh Kyai Jelantik Bogol seperti anak kandungnya sendiri. Pada suatu hari, ketika ia berusia dua puluh tahun, Kyai Jelantik Bogol memanggilnya.

“Anakku,” kata Kyai Jelantik Bogol, ”Sekarang pergilah engkau ke Den Bukit di daerah Panji.”

“Mengapa saya harus pergi kesana, Ayah?”

“Anakku, itulah tempat kelahiran ibumu.”

“Baiklah, Ayah. Saya akan pergi kesana.”

Sebelum berangkat, Kyai Jelantik Bogol berkata kepada anaknya, ”I Gusti, bawalah dua senjata bertuah ini, yaitu sebilah keris bernama Ki Baru Semang dan sebatang tombak bernama Ki Tunjung Tutur. Mudah-mudahan engkau akan selamat.”

“Baik, Ayah!”

Dalam perjalanan ke Den Bukit ini, I Gusti Gede Pasekan diiringi oleh empat puluh orang di bawah pimpinan Ki Dumpiung dan Ki Kadosot.

Setelah empat hari berjalan, tibalah mereka di suatu tempat yang disebut Batu Menyan. Disana mereka bermalam. Malam itu I Gusti Gede Pasekan dan ibunya dijaga ketat oleh para pengiringnya secara bergiliran.

Tengah malam, tiba-tiba datang makhluk gaib penghuni hutan. Dengan mudah sekali I Gusti Gede Pasekan diangkat ke atas pundak makhluk gaib itu sehingga ia dapat melihat pemandangan lepas dari lautan dan daratan yang terbentang di depannya. Ketika ia memandang ke timur dan barat laut, ia melihat pulau yang amat jauh. Sedangkan ketika ia memandang kearah selatan, pemandangannya dihalangi oleh gunung. Setelah makhluk gaib itu lenyap, didengarnya suatu bisikan.

“I Gusti, sesungguhnya daerah yang baru engkau lihat itu akan menjadi daerah kekuasaanmu.”

I Gusti Gede Pasekan sangat terkejut mendengar suara gaib itu. Namun ia juga merasa senang, bukankah suara itu adalah pertanda bahwa pada suatu ketika ia akan mendapat kedudukan yang mulia, menjadi penguasa suatu daerah yang cukup luas.

Memang untuk mencapai kemuliaan orang harus menempuh berbagai kesukaran terlebih dahulu.

Ia menceritakan apa yang didengarnya secara gaib itu kepada ibunya.

Ibunya memberi semangat untuk terus melakukan perjalanan. Keesokan harinya rombongan I Gusti Gede Pasekan melanjutkan perjalanan yang penuh dengan rintangan. Walaupun perjalanan ini sukar dan jauh, akhirnya mereka berhasil juga mencapai tujuan dengan selamat.

Pada suatu hari ketika ia berada di desa ibunya, terjadilah peristiwa yang menggeparkan. Ada sebuah perahu Bugis terdampar di pantai Panimbangan. Pada mulanya orang Bugis meminta pertolongan nelayan di sana, tetapi mereka tidak berhasil membebaskan perahu yang kandas.

Nahkoda perahu Bugis sudah putus asa, tapi tetua kampung nelayan datang mendekatinya.

“Hanya seorang yang dapat menolong Tuan.”

“Tuan, katakan saja, siapa yang dapat menyeret perahu kelautan?”

“Seorang anak muda, namun sakti dan perahu wibawa.” jawab tetua kampung.

“Siapa namanya?”

“I Gusti Gede Pasekan!”

Keesokan harinya orang Bugis itu datang kepada I Gusti Gede Pasekan. Ia berkata, ”Kami mengharapkan bantuan Tuan. Jika Tuan berhasil mengangkat perahu kamu, sebagian isi muatan perahu akan kami serahkan kepada Tuan sebagai upahnya.”

“Kalau itu memang janji Tuan, saya akan mencoba mengangkat perahu kandas itu,” jawab I Gusti Gede Pasekan. Untuk melepaskan perahu besar yang kandas itu, I Gusti Gede Pasekan mengeluarkan dua buah senjata pusaka warisan Kyai Jelantik Bogol.

Ia memusatkan pikirannya. Tak lama kemudia muncullah dua makhluk halus dari dua buah senjata pusaka itu.

“Tuan apa yang harus hamba kerjakan?”

“Bantu aku menyeret perahu yang kandas itu ke laut lepas!”

“Baik Tuan!”

Dengan bantuan dua makhluk halus itu ia pun berhasil menyeret perahu dengan mudah.

Orang lain jelas tak mampu melihat kehadiran si makhluk halus, mereka hanya melihat I Gusti Gede Pasekan menggerak-gerakkan tangannya menunjuk ke arah perahu.

Karena senangnya, orang Bugis itu pun menepati janjinya. Diantara hadiah yang diberikan itu terdapat dua buah gong besar. Karena I Gusti sekarang sudah menjadi orang kaya, ia digelari dengan sebutan I Gusti Panji Sakti.

Sejak kejadian itu, kekuasaan I Gusti Panji Sakti, mulai meluas dan menyebar kemana-mana. Ia pun mulai mendirikan suatu Kerajaan baru di daerah Den Bukit.

Kira-kira pada pertengahan abad ke-17 ibukota Kerajaan itu disebut orang dengan nama Sukasada.

Semakin hari Kerajaan itu makin luas dan berkembang lalu didirikanlah Kerajaan baru. Letaknya agak ke utara dari kota Sukasada. Sebelum dijadikan kota, daerah itu banyak sekali ditumbuhi pohon buleleng. Oleh karena itu, pusat kerajaan baru disebut Buleleng. Buleleng adalah nama pohon yang buahnya sangan digemari oleh burung perkutut. Di pusat kerajaan baru itu didirikan istana megah, yang diberi nama Singaraja.

Nama itu menunjukkan bahwa penghuninya adalah seorang Raja yang seperti singa gagah perkasa. Hal ini dikarenakan I Gusti Panji Sakti memang dikenal sebagai sosok yang sakti dan gagah berani. Jika ada gerombolan bajak laut atau perampok yang mengacau, sang Raja turut maju ke medan perang bersama prajuritnya, karena itu tepatlah jika istananya disebut Singaraja.

Ada pula yang mengatakan bahwa Singaraja berarti "tempat persinggahan raja"’. Konon, ketika istananya masih ada di Sukasada, raja sering singgah disana. Dengan demikian, kata Singaraja berasal dari kata Singgah Raja.

Legenda asal-usul kota Buleleng dan kota Singaraja ini dipercaya penduduk Bali benar-benar pernah terjadi.

Ibu Panji Sakti berasal dari kasta Sudra, yakni kalangan rendah pada masyarakat Hindu-Bali. Hal ini sangat menarik, sebab seseorang yang berasal dari kalangan rendah dapat menjadi orang yang berkedudukan tinggi dan mulia karena perjuangan dan usahanya yang keras meraih cita-cita.

Sumber :
http://www.bali-directory.com/education/folks-tale/AsalMulaSingaraja.asp



Labels: Bali, Cerita Rakyat, Folk Tales, Legenda
Sungai Jodoh


Pada suatu masa di pedalaman pulau Batam, ada sebuah desa yang didiami seorang gadis yatim piatu bernama Mah Bongsu. Ia menjadi pembantu rumah tangga dari seorang majikan bernama Mak Piah. Mak Piah mempunyai seorang putri bernama Siti Mayang. Pada suatu hari, Mah Bongsu mencuci pakaian majikannya di sebuah sungai. “Ular…!” teriak Mah Bongsu ketakutan ketika melihat seekor ulat mendekat. Ternyata ular itu tidak ganas, ia berenang ke sana ke mari sambil menunjukkan luka di punggungnya. Mah Bongsu memberanikan diri mengambil ular yang kesakitan itu dan membawanya pulang ke rumah.

Mah Bongsu merawat ular tersebut hingga sembuh. Tubuh ular tersebut menjadi sehat dan bertambah besar. Kulit luarnya mengelupas sedikit demi sedikit. Mah Bongsu memungut kulit ular yang terkelupas itu, kemudian dibakarnya. Ajaib… setiap Mah Bongsu membakar kulit ular, timbul asap besar. Jika asap mengarah ke Negeri Singapura, maka tiba-tiba terdapat tumpukan emas berlian dan uang. Jika asapnya mengarah ke negeri Jepang, mengalirlah berbagai alat elektronik buatan Jepang. Dan bila asapnya mengarah ke kota Bandar Lampung, datang berkodi-kodi kain tapis Lampung. Dalam tempo dua, tiga bulan, Mah Bongsu menjadi kaya raya jauh melebih Mak Piah Majikannya.

Kekayaan Mah Bongsu membuat orang bertanya-tanya.. “Pasti Mah Bongsu memelihara tuyul,” kata Mak Piah. Pak Buntal pun menggarisbawahi pernyataan istrinya itu. “Bukan memelihara tuyul! Tetapi ia telah mencuri hartaku! Banyak orang menjadi penasaran dan berusaha menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu. Untuk menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu ternyata tidak mudah. Beberapa hari orang dusun yang penasaran telah menyelidiki berhari-hari namun tidak dapat menemukan rahasianya.

“Yang penting sekarang ini, kita tidak dirugikan,” kata Mak Ungkai kepada tetangganya. Bahkan Mak Ungkai dan para tetangganya mengucapkan terima kasih kepada Mah Bongsu, sebab Mah Bongsu selalu memberi bantuan mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Selain mereka, Mah Bongsu juga membantu para anak yatim piatu, orang yang sakit dan orang lain yang memang membutuhkan bantuan. “Mah Bongsu seorang yang dermawati,” sebut mereka.

Karena merasa tersaingi, Mak Piah dan Siti Mayang, anak gadisnya merasa tersaingi. Hampir setiap malam mereka mengintip ke rumah Mah Bongsu. “Wah, ada ular sebesar betis?” gumam Mak Piah. “Dari kulitnya yang terkelupas dan dibakar bisa mendatangkan harta karun?” gumamnya lagi. “Hmm, kalau begitu aku juga akan mencari ular sebesar itu,” ujar Mak Piah.

Mak Piah pun berjalan ke hutan mencari seekor ular. Tak lama, ia pun mendapatkan seekor ular berbisa. “Dari ular berbisa ini pasti akan mendatangkan harta karun lebih banyak daripada yang didapat oleh Mah Bongsu,” pikir Mak Piah. Ular itu lalu di bawa pulang. Malam harinya ular berbisa itu ditidurkan bersama Siti Mayang. “Saya takut! Ular melilit dan menggigitku!” teriak Siti Mayang ketakutan. “Anakku, jangan takut. Bertahanlah, ular itu akan mendatangkan harta karun,” ucap Mak Piah.

Sementara itu, luka ular milik Mah Bongsu sudah sembuh. Mah Bongsu semakin menyayangi ularnya. Saat Mah Bongsu menghidangkan makanan dan minuman untuk ularnya, ia tiba-tiba terkejut. “Jangan terkejut. Malam ini antarkan aku ke sungai, tempat pertemuan kita dulu,” kata ular yang ternyata pandai berbicara seperti manusia. Mah Bongsu mengantar ular itu ke sungai. Sesampainya di sungai, ular mengutarakan isi hatinya. “Mah Bongsu, Aku ingin membalas budi yang setimpal dengan yang telah kau berikan padaku,” ungkap ular itu. “Aku ingin melamarmu dan menjadi istriku,” lanjutnya. Mah Bongsu semakin terkejut, ia tidak bisa menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi bingung.

Ular segera menanggalkan kulitnya dan seketika itu juga berubah wujud menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Kulit ular sakti itu pun berubah wujud menjadi sebuah gedung yang megah yang terletak di halaman depan pondok Mah bongsu. Selanjutnya tempat itu diberi nam desa “Tiban” asal dari kata ketiban, yang artinya kejatuhan keberuntungan atau mendapat kebahagiaan.

Akhirnya, Mah Bongsu melangsungkan pernikahan dengan pemuda tampan tersbut. Pesta pun dilangsungkan tiga hari tiga malam. Berbagai macam hiburan ditampilkan. Tamu yang datang tiada henti-hentinya memberikan ucapan selamat.

Dibalik kebahagian Mah Bongsu, keadaan keluarga Mak Piah yang tamak dan loba sedang dirundung duka, karena Siti Mayang, anak gadisnya meninggal dipatok ular berbisa.

Konon, sungai pertemuan Mah Bongsu dengan ular sakti yang berubah wujud menjadi pemuda tampan itu dipercaya sebagai tempat jodoh. Sehingga sungai itu disebut “Sungai Jodoh”.

Moral : Sikap tamak, serakah akan mengakibatkan kerugian pada diri sendiri. Sedang sikap menerima apa adanya, mau menghargai orang lain dan rela berkorban demi sesama yang membutuhkan, akan berbuah kebahagiaan.

Sumber : Elexmedia




Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales, Riau Kepulauan